Discourse Analysis (Analisis Diskursus)_Sebuah Rekayasa Bahasa

KRITIK ANALISIS DISKURSUS MELALUI REFEREN DAN IMPLIKATUR

(Sebuah rekayasa bahasa dalam berpolitik)


  1. Latar belakang

Berangkat dari perkembangan bahasa sebagai alat komunikasi dalam bermasyarakat dan bernegara, maka tidak terlepas pula pijakan kita terhadap faktor-faktor yang menjadi fenomena perkembangan kebahasaan itu. Fenomena ini tentu saja tidak bisa terlepas pula dari kajian terhadap konteks bahasa yang digunakannya, baik secara pribadi maupun sosial karena hal ini akan menentukan bagaimana pengaruh bahasa sebagai alat interaksi sosial.

Banyak pemerintahan dalam sebuah negara terjajah yang mengalami masa-masa imperialisme, secara langsung bahwa otonomi pemerintahan mampu mengatur segala urusan rumah tangga sebuah negara karena memiliki kekuatan yuridis maupun de facto. kekuasaan tersebut mampu menguasai berbagai sektor baik ekonomi, sosial, maupun politik. Di sisi lain kekuatan politik ini justru melahirkan eksploitasi dan manipulasi, dan bagi golongan tertentu menjadi sebuah alat untuk kekuasaan. Hal ini karena golongan tersebut memiliki kekuatan politik yang terkendali, sehingga disadari atau tidak, kehidupan berpolitik ternyata sangat memengaruhi jalannya roda pemerintahan. Pemerintahan sebagai tempat para bapak-nya rakyat menjadi pengabdi politik dan rakyat yang justru menjadi budak politik, imbasnya kekuasaan imperialis nasional yang akan lahir. Ketidaksadaran ini terus membelenggu para ‘bapak’ pemerintahan dengan tanpa melihat rakyat yang lugu dan terexploitasi. Maka lahirlah imperialisme modern nasional.

Imperialisme modern yang dimaksud di sini adalah bentuk baru yang menunggangi kehidupan berpolitik dewasa ini. Pelaku manipulasi bahasa ini adalah para aparatur dan semua komponen yang memiliki kepentingan dan kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem lama berwujud baru ini hanya entitas perubahan kepompong menjadi kupu-kupu dewasa, hanya masa yang menentukan perubahan tersebut. meskipun esensi tetap sama yaitu permainan bahasa yang melahirkan sikap kolektif yang sama. Suatu cara dan sikap berpikir modern dalam kehidupan berpolitik menentukan arah dan tujuan suatu pemerintahan yang modern. Akan tetapi, sikap dan cara tersebut bila tidak dibarengi dengan etika dan kultur nasionalisme maka akan menjadi sikap imperialis modern berwajah kultur pribadi atau nasionalis, hingga pada tarap berikutnya perubahan itu hanyalah seperti ganti baju, baju barat menjadi baju ketimuran sedangkan badan yang dikenai baju tetap itu-itu juga.

Masalahnya sekarang, kekuatan apa yang mampu memanipulasi dan mengelabui itu, yang dapat dengan rapi menutupi segala gerak-gerik imperialisme modern. Ternyata sebuah komunikasi politik sebagai salah satu penentu yang dapat melindungi imperialisme tersebut. Komunikasi politik tersebut sebagai bentuk kerjasama politik yang seolah-olah saling menguntungkan di semua pihak. Namun ada entitas yang sangat penting yang dapat ditelaah dari sebuah komunikasi politik tersebut, yaitu kekuatan bahasa. Pada saat sebuah komunikasi dilahirkan maka peran bahasa akan sangat memengaruhi keberhasilan suatu negosiasi politik dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama. Kekuatan bahasa ternyata dapat menentukan siapa yang menjadi juara dalan sebuah negosiasi, semakin hebat permainan bahasa maka lawan yang dinego akan semakin tidak sadar bahwa ia sudah terpengaruhi.

Bahasa yang digunakan dalam komunikasi antar manusia memiliki tujuan untuk saling memenuhi maksud tertentu karena pada dasarnya manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa berinteraksi satu sama lainnya. Dengan bahasa manusia dapat berkomunikasi, berpolitik, hingga membentuk suatu komunitas terbesar yang memiliki tujuan yang sama yaitu negara. Dalam negara terdapat pemegang atau pengontrol komunitas yang dikenal sebagi pemerintah, maka kemudian pemerintah inilah yang akan berkomunikasi dengan rakyatnya untuk mencapai tujuan-tujuan negara. Pada tataran selanjutnya dalam membuat kebijakan-kebijakan yang terkendali pemerintah harus berupaya berpolitik agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dan diterima oleh rakyatnya. Bila kebijakan tersebut dirasakan akan mengundang kontradiksi maka peranan bahasa akan sangat dibutuhkan agar tidak ada kesan pertentangan. oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini rekayasa bahasa dalam berkomunikasi mau tidak mau akan terjadi.

Atas dasar inilah penulis merasa perlu untuk menelaah fenomena konteks kebahasaan yang terjadi dalam komponen kekuasaan sebagai rekayasa politik atau propaganda melalui ciri eufemisme dan akronim. Fenomena ini terjadi dalam masyarakat khususnya dalam perkembangan bahasa yang ditinjau dari sudut kritik kontekstual dalam jiwa kekuasaan.


  1. Pertanyaan penelitian

  1. Sejauh mana implikatur kebahasaan dalam penyampaian sebuah pesan.

  2. Seberapa jauh pengaruh bahasa dalam komunikasi politik yang terjadi di masyarakat.



  1. Kerangka teori

Discourse atau diskursus merupakan disiplin ilmu yang menyelidiki hubungan antara bentuk dan fungsi dalam komunikasi verbal (Jan Renkema, 1993: 1). Dalam penelitian ini dilakukan pengkajian tentang seberapa jauh referen dan implikatur yang digunakan dalam tuturan pada kehidupan sehari-hari, terutama dalam bentuk-bentuk lisan dan tulisan di media massa.

Berangkat dari tujuan suatu konten yang ingin disampaikan seorang penutur, bahasa yang direkayasa akan sangat memengaruhi hasil yang ingin dicapai. Menurut Chaedar Alwasilah (1997), rekayasa atau perencanaan bahasa dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memfungsikan ragam bahasa (lokal, nasional, regional, global) untuk memenuhi tujuan politik. Bagi suatu masyarakat bahasa, bahasa itu bukan hanya merupakan suatu gejala dan identitas sosial, tetapi juga merupakan suatu ikatan batin yang sukar ditinggalkan, (Abdul Khaer, 2003). Dalam kaitannya dengan konten yang ingin disampaikan dalam sebuah propaganda politik, rekayasa bahasa dapat menjadi alat untuk menggolkan suatu tujuan (Herujati Purwoko, 2004), hal ini berkaitan dengan bagaimana fenomena kebahasaan dapat menentukan kompromi politik melalui konteksnya.

Dalam menyampaikan berbagai pesan-pesan politis, sering ditemukan penggunaan kata-kata atau frase-frase yang bernuansa eufemisme dan akronim. Hal ini menyangkut pula pada implikatur dari istilah lain dengan tujuan memperhalus atau mengaburkan makna sesuatu topik yang ingin disampaikan. Implikatur terjadi sebagai usaha penulis atau penutur untuk tetap menjaga maxim kuantitas dengan cara menambah istilah lain dengan tanpa menyebutkan kata yang sama berkali-kali, atau penyampai pesan ingin memberikan penekanan lain dengan referen yang sama (Widdowson,2007)

Kecendrungan dalam penggunaan korpus berbahasa sangat menonjol dalam membedakan nuansa makna yang tersirat dalam suatu rekayasa bahasa. Istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan rekayasa bahasa memiliki konten makna yang bersifat akronim dan eufemisme. Secara semantik, akronim adalah pemampatan makna dengan simbol singkat, sehingga ada pengaburan makna yang terkadang ironis dan agak sulit difahami oleh orang awam. Sedangkan eufemisme adalah istilah lain pengkaburan makna yang mengakibatkan substansi permasalahan menjadi tidak jelas karena simbol-simbol bahasa. Dengan adanya kedua kategori makna ini maka sejalan dan akan mengarah kepada pemahaman seperti yang dikatakan oleh Geroge Orwell “…Bahasa politik didesign untuk mengelabuhi kebenaran dan membunuh rasa penghargaan”(Alwasilah:45).

Munculnya pemaknaan akronim dan eufemisme ungkapan rekayasa bahasa itu lahir bergantung pada masa atau jaman. Pada masa orde lama ungkapan-ungkapan bahasa cendrung explisit dan bersifat mengobarkan semangat seperti kata ganyang Malaysia, tumpas, brantas dan lain-lain. Sedangkan pada masa orde baru ungkapan-ungkapan bahasa cendrung implisit demi mengukuhkan legitimasi kekuasaan pada saat itu.

  1. Jenis data

Jenis data yang dikumpulkan berupa data kualitatif, yaitu data yang dikumpulkan dengan pemilahan berdasarkan kategori tertentu, sehingga dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Data yang terkumpul berupa kata-kata, istilah, frase, atau teks-teks yang diambil dari beberapa media massa. Istilah-istilah tersebut muncul dalam bahasa sosial dan politis keseharian yang sering digunakan dalam masyarakat, pemerintahan ataupun media massa.


  1. Pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode studi kepustakaan yaitu dengan cara pengumpulan data yang dilakukan melalui penelaahan berita pada media masa seperti buku, majalah, koran, maupun media televisi baik lisan maupun tulisan. Tehnik pengumpulan yang digunakan adalah dengan cara pemilahan artikel-artikel atau berita yang berkaitan dengan wacana rekayasa politik yang diucapkan pejabat tertentu dalam pemerintahan.


  1. Unit analisis

Unit analisis terdiri dari kata-kata atau istilah-istilah yang mengandung implikatur politis yang sering diucapkan pejabat tertentu. Juga istilah-istilah yang menjadi referen istilah lain yang memiliki nuansa makna lain meskipun esensinya sama yang sering terjadi dalam masyarakat. Selain kata atau istilah yang bermakna referensial, juga penganalisisan dilakukan pada tataran konteks kalimat sebagai kritik diskursus.



  1. Tehnik analisis

Data dianalisis melalui beberapa tahap dengan menggunakan tehnik pemilihan secara acak. Data yang sudah tekumpul secara random kemudian disusun dalam kategori-kategori lalu dijadikan korpus data. Tehnik pemilihan dilakukan atas kategori referensial dan implikatur kebahasaan, oleh karena itu tehnik analisis yang digunakannya pun menggunakan tehnik referensial, yaitu pemaknaan diacukan pada fenomena di luar kebahasaan, seperti sosiokultural dan politik (Sudaryanto, 1993)


  1. Temuan penelitian

Temuan penelitian dilakukan khusus pada istilah-istilah yang mengacu pada referen dan implikatur sebagai kritik analisis diskursus.

  1. Referen

Referen dari sebuah tututuran atau kata tertentu sebagai istilah lain dari apa yang dimaksudkan penutur sering ditemukan dalam artikel-artikel berbagai media massa. Referen ini menjadi ikon kebahasaan yang disadari atau tidak menjadi sebuah kebiasaan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan analisis kontekstual, ikon kebahasaan ini terkadang bisa menunjukan makna yang sepertinya lebih ‘sopan’ daripada esensi sebenarnya yang ingin dikatakan atau ingin dilakukan, sebagai contoh, kata ‘penjara’ lebih menyeramkan daripada kata ‘lembaga pemasyarakatan’, atau bahkan lebih terdengar sopan bagi penjaranya para pejabat dengan mengatakan ‘hotel prodeo’.

Tomi diijinkan meninggalkan hotel prodeo untuk menjenguk ayahnya yang sedang koma.’

(Kompas, 15 Juni 2007)

Hotel prodeo mengacu kepada penjara Nusakambangan tempat Tomi dihukum. Istilah ini dapat mengaburkan makna bahwa situasi penjara sebagai tempat yang menakutkan menjadi tersembunyikan, hal ini dipertegas dengan adanya kata hotel sebagai tempat penginapan yang menyenangkan dalam pemikiran semua orang. Sementara itu dalam tuturan ditemukan juga kata koma. Secara leksikal referen koma itu sendiri adalah tanda baca berhenti sesaat, namun bila dilihat dari analisis diskursus, berdasarkan konteksnya, kata koma pada tuturan di atas mengacu pada keadaan setengah mati, atau keadaan seseorang di antara hidup dan mati. Secara keseluruhan konteks, melalui tuturan seperti ini, seolah-olah penggunaan hotel prodeo hanya cocok diterapkan untuk menerangkan orang tertentu. Bandingkan bila pelaku yang diijinkan meninggalkan penjara tersebut adalah orang awam, tentu saja penggunaan kata ini kurang enak didengar.

‘Pemerintah mulai melakukan operasi ketupat guna menertibkan dan melancarkan arus mudik lebaran.’

(Suara Merdeka, 5 Oktober 2007)

Dalam fenomena kebahasaan lainnya, kita bisa lihat fungsi dan makna kata ‘operasi’ yang pada mulanya, digunakan untuk istilah pembedahan kedokteran, namun pada kenyataannya kata ini meluas penggunaannya seperti ‘operasi ketupat’ sebagai penghalus rajia lalu lintas pada hari Idul Fitri, ‘operasi pekat’, atau bahkan baru-baru ini ada istilah ‘operasi kasih sayang’ untuk merajia para pelajar yang berkeliaran di luar jam belajar, yang ironisnya operasi ini justru menewaskan satu orang siswa (Suara Merdeka, Februari 2008). Pemakaia istilah ‘operasi ketupat’ dianggap terdengar lebih ramah di telinga daripada istilah ‘rajia’. Istilah ini muncul disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat itu, yaitu menjelang Hari Raya Idul Fitri, demikian juga bila natalan tiba maka ‘operasi lilin’ pun dilakukan.

Dalam tataran politis, kita sering mendengar kata ‘kompromi politik’ yang bagi masyarakat awam cukup sulit untuk dipahami, bahkan sebenarnya akan mudah dipahami bila disampaikan dengan bentuk sederhana seperti musyawarah dalam berpolitik. Tentu saja hal ini merupakan gaya bahasa dalam kasus tertentu sebagai fenomena perkembangan bahasa.

Untuk membuktikan kemurnian reformasi, negara harus berani memejahijaukan para koruptor dan kroni-kroninya’

(Kompas, 6 Januari 2003)

Tuturan tersebut diucapkan seorang aktivis dalam orasinya. Dalam tuturan di atas mengandung tiga referen yaitu, negara, memejahijaukan, dan kroni-kroninya. Kata ‘negara’ pada konteks di atas mengacu pada pemerintah yang sedang berkuasa termasuk komponen-komponennya. ‘memejahijaukan’ mengacu pada pengadilan atau bermakna memberi hukuman dengan cara diadili. Sedangkan kata ‘kroni-kroninya’ mengacu pada rekan atau pengikut orang yang dikatakan sebagai koruptor. Kita bisa rasakan bahwa nuansa atau kesan kasar akan sangat terasa pada kata ‘kroni’ dibanding kata ‘kolega’ yang bernuansa lebih positif. Hal ini dimungkinkan karena kata yang disandingkannya adalah kata ‘koruptor’.

Ikon kebahasaan dapat juga muncul dalam media iklan sebagai alat bahasa verbal maupun nonverbal. Ditinjau dari sudut diskursus yang bermakna interpersonal, bagaimana pemirsa dapat terpengaruh secara cepat dengan bahasa periklanan, gambaran tersebut menunjukkan bahwa iklan memang sangat memperhitungkan bagaimana psikologi pemirsa yang sangat diutamakan, sehingga melalui bahasa psikologilah tujuan itu bisa tercapai. Hal ini tentu saja tidak akan terlepas dari bagaimana cara pemerolehan makna bahasa melalui konteks referensial. Konteks yang dimaksud adalah bahwa bagaimana bahasa iklan dapat melekat sebagai jargon dalam masyarakat. Kata-kata atau kalimat yang khas itulah yang membuat konsumen selalu teringat akan produk yang ditawarkan.

Indonesia harus minta maaf kepada Timor Leste atas kejahatan pelanggaran HAM pada masa jejak pendapat. Menlu menegaskan bahwa negara akan bertanggung jawab dan mengusut tuntas oknum pelakunya.

(Jawa Pos, 22 Juli 2008)

Indonesia’ merupakan referen dari pemerintah atau aparatur negara, atau mungkin juga warga Indonesia yang melakukan kesalahan pada masa jejak pendapat. Demikian juga dengan ‘Timor Leste’ mengacu pada pemerintahan atau masyarakat Timor Leste. Kata ‘negara’ sebagai referen kolektif dari pemerintah beserta komponen-komponen di dalamnya. Ada kata yang menarik pada teks di atas, yaitu kata oknum mengandung referensi pelaku yang melakukan tindakan tidak baik, oleh karena itu makna oknum selalu dikaitkan dengan pelaku kejahatan, namun kata oknum akan terasa lebih beradab daripada kata penjahat.

Dalam bahasa-bahasa politik pemerintah orde baru sering pula dimunculkan ungkapan-ungkapan akronim yang referensial untuk menutupi ketidakmampuannya. Misalnya kata ‘kelaparan’ diganti dengan kata ‘rawan pangan’ , ‘korupsi’ diganti dengan kata ‘komersialisasi jabatan’ , ‘pelaku kejahatan’ dengan ‘oknum tak bertanggung jawab’ dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan seperti ini dimunculkan sebenarnya dalam usaha untuk mengeliminir kesan negatif tentang aib yang menimpa oknum tersebut, karena oknum yang bersangkutan ternyata kroninya sendiri. Sehingga ungkapan seperti ini adalah senjata yang dapat melumpuhkan pemikiran masyarakat awam agar tidak berreaksi.

  1. Implikatur

Penulis menemukan bahasa-bahasa penghalus makna dalam media surat kabar atau pun media televisi untuk mengungkapkan nilai rasa. Dari sudut tinjauan analisis diskursus sebagai fenomena kebahasaan yang terjadi dalam masyarakat merupakan suatu ungkapan lingual sebagai proses pengayaan bahasa. Ungkapan nilai rasa ini menjadi suatu ikon yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, misalnya, dalam sebuah berita duka di surat kabar ditemukan pemberitahuan, “Telah meninggal dunia dengan tenang”, “Telah pulang ke rumah Bapak di Sorga”, secara realitas apakah benar semua orang yang meninggal dan keluarganya bisa tenang ketika mendapat musibah.

Kata lokalisasi juga mengandung makna ‘diberi tempat’, ‘ditata dalam suatu tempat tertentu’, namun maknanya menjadi rancu pada saat diterapkan sebagai kata lain dari ‘tempat prostitusi’. Terasa ironis manakala ada ungkapan yang menyatakan pemerintah melokalisasi para tuna susila di sekitar daerah Sunan Kuning, ini berarti pemerintah memberi tempat kepada para tuna susila untuk beroperasi, yang berarti pula mengijinkan adanya prostitusi, menunjukkan kepada orang bahwa kalau ingin berbuat ‘sesuatu’ tempatnya di situ, dan ini tentu saja bertolak belakang dengan undang-undang negara dan norma agama. Efeknya begitu kita mendengar kata ‘lokalisasi’ bayangan yang langsung muncul adalah negatif karena semua orang beranggapan sebagai tempat pelacuran.

Untuk merebut kursi yang lebih banyak di parlemen, tampaknya partai Golkar harus tetap melakukan kompromi politik dengan pertai pemenang pemilu.

(Jawa Pos,23 Juni 2008)

Istilah ‘kompromi politik’ mungkin bagi sebagian orang awam tidak begitu dikenal, kata ini digunakan semata-mata untuk memberikan ketegasan politis dalam hal bermusyawarah untuk mufakat, atau kerjasama politik dalam rangka mencapai tujuan bersama.


Salah satu upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan memberikan dana BLT (Biaya Langsung Tunai). Biaya ini dialokasikan sebagian dari hasil penyesuaian harga BBM, jadi sebenarnya penyesuaian harga ini adalah diperuntukkan untuk pembangunan rakyat. Kata Presiden SBY.

(Berita Indonesia, Edisi Mei 2008)

Upaya untuk memahamkan agar suatu kebijakan yang diluncurkan pemerintah tidak terdengar drastis atau radikal, maka sering digunakan gaya akronim yang terkadang masyarakat awam sebenarnya telah terbodohi, misalnya kebijakan pemerintah yang ‘menaikan harga’ bahan bakar bensin, maka ungkapan ‘kenaikan harga’ ini diganti atau diperhalus dengan ungkapan ‘penyesuaian harga’. ‘dana Bantuan Langsung Tunai (BLT)’ sebagai akronim untuk mengalihkan perhatian dari pola pikir dan anggapan masyarakat secara halus atas sikap pemerintah mengenai kebijakan, bahwa ‘kenaikan harga’ yang ditentang masyarakat, diimbangi dengan kontribusi tindakan nyata berupa subsidi pemerintah berupa BLT. Gaya tuturan seperti ini memang tanpa disadari masyarakat awam yang berpola pikir pragmatis, terutama warga miskin menjadi penyejuk hati. Sementara itu istilah ‘mengentaskan kemiskinan’ merupakan eufemisme bahasa. Bila diruntut dari arti yang sebenarnya, kata ‘mengentaskan’ itu sendiri adalah ‘memindahkan’, maka apakah mungkin istilah ‘mengentaskan kemiskinan’ bisa berarti ‘memindahkan kemiskinan’, ironis sekali, padahal tuturan yang dimaksud adalah upaya pemerintah untuk mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu pada konteks tersebut telah terjadi pengaburan makna yang tanpa disadari diakui secara umum.

Pesan-pesan politik dan pembangunan ditandai saratnya akronim dan eufemisme yang terkadang bernuansa propaganda ketimbang kejujuran pesan. Bahkan ada kalanya kata pembangunan itu sendiri akan mengandung propaganda hanya untuk melawan lawan politiknya, misalnya dalam ungkapan “kepentingan politik golongan jangan sampai mengganggu kesinambungan pembangunan bangsa”. sedangkan politikus yang berbicara ini berasal dari golongan tertentu misalnya, ungkapan ini hanya untuk melegitimasikan pesan tersirat bahwa golongannya adalah kelompok yang menentang tindakan tersebut.

Dalam kasus-kasus tindak korupsi pun para pejabat sering berkilah dengan pernyataan seolah-olah tidak melanggar hukum.

Dalam kasus suap kapal patroli, anggota komisi V DPR, Bulyan Royan menyatakan bahwa anggaran tender itu atas keputusan bersama dalam rapat komisi.

(Suara Merdeka, 14 Juli 2008)

Dana alih fungsi Hutan Tanjung Api api itu sudah menjadi urusan partai”, kata Yusuf Emir Faisal mantan ketua komisi IV DPR yang sekarang dinyatakan sebagai tersangka kasus Alih Fungsi Hutan bakau.

(Suara Merdeka, 14 Juli 2008)

Dua teks di atas merupakan penyangkalan sekaligus pelimpahan kesalahan pribadi atas kelompok atau organisasi sehingga seolah-olah tindakan tersebut bukan suatu tindakan kriminal secara pribadi. Tetapi juga tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan kelompok, seolah-oleh tindakan tersebut sudah sesuai dengan permufakatan keputusan bersama dan prosedural. Ini adalah sebuah eufemisme rekayasa bahasa dalam bentuk kontekstual, orang awam diajak untuk berpikir tidak menyalahkan pribadi tertentu. Dan memang tidak sedikit orang awam dibingungkan dengan kalimat-kalimat seperti ini hingga akhirnya mereka tidak mau tau dan tidak keritis lagi.

  1. Kesimpulan

Dari hasil analisis penelitian di atas, maka dapat disimpulkan menjadi beberapa poin penting di antaranya;

  1. Peristilahan muncul berdasarkan fenomena tertentu dan pada masa tertentu.

  2. Pemakaian suatu istilah umumnya terasa lebih berbeda daripada referen yang digunakan sebelumnya.

  3. Istilah-istilah yang memiliki referen dan implikatur tertentu terasa lebih ampuh dalam rekayasa bahasa dalam upaya mengelabui pola pikir orang awam.

  4. Pengaburan makna menjadikan orang seperti terbodohi sehingga memunculkan sikap apatis dan antipati.

  5. Kekuatan bahasa politis mampu menguasai pola pikir masyarakat dalam penyampaian pesan-pesan politik tersebut.



DAFTAR PUSTAKA


Widdowson, H.G. 2007. Discourse Analysis. New York: Oxford University Press.

Renkema, Jan. 1993. Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Pubulishing.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Tehnik Analisa Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Rahardi, Kunjana. 2006. Bahasa Kaya Bahasa Berwibawa. Yogyakarta: ANDI Offset.

Rahardi, Kunjana. 2003. Bulir-bulir Masalah Kebahasa-Indonesiaan. Malang: Dioma.

Purwoko, Herujati. 2004. Rekayasa Bahasa dan Sastra Nasional. Semarang: Masscom Media.

Lippmann, Walter. 1999. Filsafat Bublik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sumarsono. 2004. Buku ajar: Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo.

Alwasilah, Chaedar.1997. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. 1981. Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Balai Pustaka

Harian Kompas, Suara Merdeka, Jawa Pos,

Majalah Media Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar