Jepang: Penididkan Moral

Pendidikan moral

Konsep orang Jepang dalam menyikapi pendidikan moral meliputi, kebiasaan sehari-hari, etika pergaulan dan kenegaraan, termasuk nilai-nilai loyalitas dan patriotisme. Selain tanggung jawab keluarga dalam pendidikan, pemerintah pun menjadi sangat dibutuhkan dalam peran pelaksanaannya.

Kebebasan dan keterbukaan terhadap pendidikan di Jepang sebenarnya dimulai sejak diakuinya hak-hak pribadi secara legal pada jaman Meiji (1868), meskipun pada tahun-tahun sebelumnya sudah ada sistem pendidikan yang pada saat itu lebih terfokus pada pendidikan moral Budha dan Shinto saja. Dalam konstitusi Meiji digariskan lima pasal penting yaitu;

  1. Suatu mejlis harus diadakan secara luas, dan undang-undang didiskusikan secara terbuka.

  2. Tinggi dan rendah harus dalan satu pikiran, keuangan dan perekonomian hasrus diperkuat.

  3. Semua aparat dan warga negara lainnya memiliki kesamaan aspirasi.

  4. Penghilangan kebiasaan buruk, dan segala tindakan harus mengikuti aturan internasional.

  5. Pengetahuan harus dicari ke seluruh dunia, dan landasan kekuasaan kekaisaran harus diperkuat.

Poin kelima agaknya menjadi landasan pengembangan pendidikan di Jepang modern dengan dibentuknya Ketetapan Pendidikan yang berisi tiga ketetapan secara umum yaitu;

  1. Tujuan pendidikan adalah untuk umat manusia, karena pendidikan merupakan sumber kesuksesan individu dan kemajuan sosial.

  2. Pendidikan pada Jaman feodal hanaya diperuntukkan bagi para prajurit, sedangkan pada masa modern ditujukan bagi semua warga yang diharapkan nantinya memiliki sikap patriotis terhadap negara.

  3. Setiap orang di manapun harus memiliki pendidikan tanpa memandang status dan kekayaan.


Pendidikan dimulai dari kurikulum tingkat dasar. Pendidikan tingkat dasar di bawah ketetapan pendidikan bertujuan untuk memberi pengetahuan kepada murid mengenai pendidikan tatakrama dan moral, sehingga pelajaran moral dianggap sangat penting pada era 1881-an.

Pada masa itu orang yang paling berpengaruh dalam dunia pendidikan adalah cendikiawan Yukiichi Fukuzawa, Hiroyuki Katō dan Menteri Pendidikan Arinori Mori.

Pada tahun 1882, Kaisar mengeluarkan maklumat Kekaisaran kepada para tentara agar menumbuhkan sikap disiplin dengan penuh kesetiaan kepada negara dan kaisar. Guru-guru diberi pelatihan kedisiplinan seperti tentara, dan mereka harus bertindak dalam ukuran etika yang paling tinggi tanpa melakukan kegiatan-kegiatan politik.

Pada tahun 1889, Kaisar melahirkan kembali tentang pokok-pokok etika dan nasionalisme yaitu berupa Konstistusi Kekaisaran, beberapa isinya antara lain;

  1. Kekaisaran Jepang harus dikuasai oleh satu garis keturunan kaisar yang berlangsung selama-lamanya.

  2. Kaisar adalah suci dan tidak dapat diganggu gugat.

Kedua poin ini menunjukkan bahwa Kaisar memproklamirkan diri sebagai penguasa nomor satu yang harus dihormati dan diikuti.

Pada tahun 1890, kementrian pendidikan mengeluarkan Maklumat Kekaisaran yang disusun oleh Masanao Nakamura seorang ahli pikir kebudayaan barat, Nagazane Motoda seorang sarjana ajaran Konfutsu, dan Kowashi Inoue seorang Jendral Biro Perundang-undangan Kabinet, sekaligus ahli hukum. Maklumat ini secara garis besar berisi kombinasi ajaran konfutsu dengan etika modern yang mengajarkan kesetiaan kepada pendidikan, kepada keluarga dan yang paling utama adalah kesetiaan kepada kaisar. Maklumat ini selalu dibacakan pada upacara-upacara yang diselenggarakan di sekolah-sekolah, dan pada saat maklumkat dibacakan seluruh murid harus membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada kaisar.

Pada tahung 1980, pendidikan moral tidak lagi hanya menekankan etika moral berupa pengabdian kepada kaisar saja, melaikan pengabdian kepada masyarakat dan negara yang paling utama. Dan sikap kebajikan moral harus ditunjukkan secara konkrit kepada dunia internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar