Etika dan Kepribadian Bangsa Jepang

Etika dan Kepribadian Bangsa Jepang


Bagaimana etika dan kepribadian bangsa Jepang, adalah suatu kajian yang menarik untuk ditelaah.

Irasshaimase

Irasshaimase artinya selamat datang. Ungkapan ini seperti ungkapan yang diwajibkan bagi orang Jepang pada saat menyambut pelanggan. Ke mana pun kita pergi, di seluruh Jepang, ungkapan ini akan sering terdengar. Sambutan dengan keramahan pelayan staff hotel, supermarket, pelayaan bar, petugas bank dan lain sebagainya selalu mengucapkan kata ini. Dengan penuh keramahan dan etika yang kuat, ucapan ini dibarengi pula dengan penghormatan membungkukkan badan. Penghormatan seorang pelayan yang disertai ucapan irasshaimase sudah menjadi kebiasaan orang Jepang pada saat menyambut pelanggannya. Ini adalah suatu cara untuk menjunjung pelanggan sebagai tamu yang harus diagungkan dan dihormati.

Pada mulanya mungkin kita merasa aneh karena selalu disapa irasshaimase setiap datang ke suatu tempat, seolah-olah sikap itu hanya formalitas belaka, namun ternyata kekuatan dari ungkapan itu menunjukkan bahwa masyarakat Jepang berprinsip harus senantiasa menyambut baik dan memuliakan tamu dan pelanggan. Ini berarti suatu pelayanan yang ramah.


Chankonabe

Istilah chanko nabe adalah panci yang berisi berbagai jenis masakan seperti sayuran, daging berupa menu makanan bagi pemain sumo. Chanko nabe merupakan simbol kebersamaan bagi pemain sumo, makan bersama dengan menggunakan chankonabe merupakan ritual tersendiri bagi kebersamaan dan keberhasilan setiap latihan para pemain sumo.

Beberapa perusahaan mengadopsi kebersamaan dan integritas tersebut dari ajaran-ajaran yang dikembangkan dalam sumo.


Ikebana

Ike berasal dari kata kerja ikeru yang artinya ‘dapat hidup’ dan bana berasal dari kata hana yang berarti ‘bunga’, Ikebana berarti ‘bunga yang dapat hidup’. Seni ini muncul pada abad ke-15. Seni merangkai bunga atau yang sering disebut sebagai ikebana adalah seni tradisional bangsa Jepang yang menggambarkan keharmonisan hidup, keharmonisan alam dengan alam dan alam dengan manusia. Rangkaian bunga berasal dari beberapa tangkai bunga atau daun hidup yang disusun hingga memiliki filosofi baru. Makna ‘bunga yang dapat hidup’ berarti bahwa rangkaian bunga yang meskipun berasal dari berbagai jenis bunga tapi memunculkan keharmonisan dan keseimbangan alam menjadi fokus perasaan.


Keharmonisan alam yang selalu ditanamkan dalam setiap diri orang Jepang dewasa ini pun melahirkan hasil karya yang khas. Produk-produk Jepang yang khas ini membuat daya tarik sendiri dalam persaingan pasar. Semangat keharmonisan hidup direflesikan produk unik yang selain mengutamakan kualitas tetapi juga fungsi dan estetikanya. Ambil contoh produk motor yang banyak ditemukan di Indonesia dengan berbagai kegunaan dan fungsinya yang senantiasa berubah dan lebih atraktif, tetapi juga tidak meninggalkan nilai estetika dan fungsi emisi yang tinggi terhadap keseimbangan alam.


Chanoyu

Chanoyu adalah seremoni minum teh. Pada mulanya upacara ini berasal dari Cina yang masuk ke Jepang pada jaman Nara kemudian dikembangkan oleh Sen no Rikyu di Jepang pada abad ke-16 berdasarkan kebiasaan ajaran Zen yang mengajarkan ketenangan, keteraturan dan rasa estetika yang tinggi. Pada jaman Muromachi upacara minum teh semakin digalakan dalam kalangan istana terutama pada masa kekuasaan shogun Ashikaga Yoshimasa, pada masa ini muncul filosofi selain keselarasan juga mengandung kedisiplinan. Selanjutnya pada masa kekuasaan Toyotomi Hidetoshi didirikan sekolah minum teh, yakni Ura senke, Omote senke, Mushakoji senke.


Ekspresif dan kreatif

Mungkin tidak ada di negara manapun orang yang seekspresif dan seunik bangsa Jepang dalam menggambarkan ide-idenya. Kreativitas bangsa Jepang terkadang melebihi imajinasi akal normal. Inilah yang membuat orang tidak menyangka dan terlihat konyol. Imajinasi di luar batas akal atau penalaran ini menggambarkan bahwa orang Jepang mampu memiliki angan-angan yang sangat jauh dari alam biasa. Orang Amerika mungkin mampu menggambarkan hal-hal di luar dugaan manusia pada umumnya di bidang film-film futuristik dan scientific film, namun bangsa Jepang menuangkan ide-ide itu dengan kekhasan alamiah.

Bisa dilihat, contoh dalam cerita-cerita komik yang menggambarkan angan-angan banyak digandrungi orang di seluruh dunia, ekspresi wajah sedang tertawa, menangis, bahagia selalu digambarkan dengan sangat berlebihan, namun justru di situlah kekuatan imajinasi orang Jepang. Acara-acara sejenis masqurate (pengimajinasian alam dll) banyak ditemukan di stasiun-stasiun televisi di Jepang, seorang artis bahkan berani melakukan adegan-adegan konyol yang tidak diduga dan tidak biasa hanya untuk memberikan sajian menarik bagi penonton atau penggemarnya.

Dari segi trend dan mode, ekpresi perancang pakaian pun tak ketinggalan impresifnya, rupanya banyak perancang di dunia international melirik model-model harajuku yang khas, model rambut warna-warni urakan dan funky, mencerminkan ekspresi gairah kaum muda Jepang pada saat ini.

Bidang tehnologi, karena imajinasi yang ekspresif ini telah melahirkan robot-robot multiguna, baik yang diciptakan karena fungsinya maupun segi estetikanya, atau atas dasar pertimbangan keduanya.


Karensui

Karensui adalah seni menata alam halaman yang medianya berupa batu kerikil. Karensui menyimbolkan keselarasan atau keharmonisan komponen-komponen alam. Hamparan kerikil dibentuk relip menyerupai riak air menggambarkan kehidupan yang penuh ketenangan dan kesejukan.

Dalam sebuah perusahaan semua komponen harus memiliki semangat karensui, hubungan antara karyawan harus seimbang, hubungan bos dengan karyawan harus seimbang, atau pun antara pekerjaan dengan komponen lainnya harus juga seimbang. Konsep karensui selalu digunakan sebagai konsepsi dan etos kerja sebuah perusahaan.


Permohonan maaf

Ada apa dengan maaf? Dalam bahasa Indonesia, bila kita ingin mengutarakan penyesalan atau meminta pengampunan kepada orang lain, maka hanya satu kata yang diucapkan, yaitu ‘maaf’ apa pun kondisinya. Lain halnya dengan bahasa Inggris, paling tidak ada tiga kata yang sering digunakan, yaitu sorry yang digunakan bila mengutarakan rasa simpati dan penyesalan karena sudah berbuat kesalahan, pardon me dan excuse me, bila kita akan meminta pengulangan misalnya karena kurang jelas, mengganggu seseorang, atau berbuat salah yang tidak disengaja. Lalu bagaimana halnya dengan bahasa Jepang. Kata-kata maaf yang diucapkan orang Jepang selalu menunjukkan suatu konteks yang sangat mendalam maknanya karena sebagai suatu cara untuk mengekspresikan berbagai perasaan dan kondisi hati bila seseorang itu memiliki rasa penyesalan. Ungkapan permintaan maaf ini dalam penggunaannya akan berbeda sesuai dengan perasaan, kondisi, dan kepada siapa permintaan maaf itu dilakukan. Ini adalah suatu cara bangsa Jepang untuk membedakan nilai rasa dan kedalaman rasa penyesalan itu. Kita mungkin tidak pernah memperhatikan persoalan seperti itu karena dalam konteks bahasa Indonesia kata ‘maaf’ tidak memiliki nilai rasa yang berbeda dalam situasi apa pun.

Dalam bahasa Jepang sedikitnya ada enam cara untuk menyatakan permemintaan maaf yang tetntunya disesuaikan dengan kondisinya, yaitu;


  1. Gomen nasai

Gomen arti yang sebenarnya adalah, mengijinkan, melepaskan, menghentikan. Sedangkan nasai adalah kata untuk menyatakan permintaan, dalam bahasa Inggris seperti please. Maka bila dilihat secara etimologis, kata ini berarti ‘tolong lepaskanlah, tolong ijinkanlah, tolong hentikanlah’. Apa yang dimaksud dengan permintaan itu semua, maksudnya adalah bahwa seseorang yang meminta maaf itu sebenarnya ingin mengemukakan, bila itu suatu kesalahan dan membuat Anda marah, maka tolong lepaskanlah kemarahan itu, tolong hentikanlah kemarahan itu, atau bila kesalahan itu membuat sedih, maka tolong lepaskanlah kesedihan itu, tolong hentikanlah kesediahan itu, dan seterusnya, ini adalah salah satu cara orang Jepang untuk mengungkapkan perasaan menyesal karena rasa bersalah.

Dalam pengungkapannya, Gomennasai sering digunakan untuk meminta maaf karena merasa menyesal telah berbuat suatu kesalahan baik yang disengaja atau pun yang tidak disengaja.


  1. Gomen kudasai

Kata ini sama dengan gomen nasai, bedanya kudasai berarti ‘meminta’. Ungkapan ini lebih sopan daripada gonmen nasai. Selain itu bisa juga digunakan pada saat kita berkunjung ke rumah orang lain, seperti kata ‘permisi!’, ‘spada!’, ‘assalamualaikum!’


  1. Sumimasen

Sumimasen berasal dari bentuk positif kata kerja sumu artinya ‘selesai’, sedangkan sumimasen adalah bentuk negatifnya, maka dapat diartikan menjadi ‘tidak selesai’. Lalu apa kaitannya dengan ungkapan rasa ‘maaf ‘ itu sendiri. Sesungguhnya orang Jepang ingin mengatakan apa yang dilakukannya terus menerus membuat orang terganggu, dan tidak selesai-selesai juga, makanya mengatakan ‘tidak selesai’. Sehingga ungkapan ini sering digunakan untuk meminta maaf karena mengganggu, membuat mitra wicara tidak nyaman. Nuansa makna yang dikandung menekankan suatu ungkapan permohonan maaf dengan rasa hormat. Misalnya seorang mahasiswa yang mengganggu pembimbingnya dan meminta maaf, atau seseorang yang ingin mengganggu untuk menanyakan alamat, atau meminta maaf karena mau lewat dan sebagainya.


  1. Shitsurei shimasu

Arti yang sebenarnya dari kata ini adalah ‘melakukan hal yang tidak sopan’, ‘berbuat tidak sopan’. Maksudnya adalah ‘maaf kalau saya tidak sopan tapi bagaimanapun saya akan mengganggu Anda’, ‘maaf atas ketidaksopanan saya’. Ungkapan ini digunakan untuk menyatakan permintaan maaf karena sesuatu yang ditakutkan telah berbuat tidak sopan atau tidak berkenan di hati mitra wicara. Misalnya saat kita akan masuk atau meninggalkan ruangan setelah mengganggu orang lain.


  1. Osore irimasu

Arti yang sebenarnya dari kata ini adalah ‘saya merasa takut’, ‘ditakutkan kalau’. Ungkapan ini mengandung nuansa makna untuk menerangkan perasaan hormat terhadap mitra wicara dan pembicara merasa khawatir kalau-kalau mitra wicara memiliki rasa yang berlebihan atas perlakuan pembicara itu. Misalnya kita ingin meminta mitra wicara untuk melakukan sesuatu dengan rasa hormat.

Osore irimasu ga, kochira ni onamae o onegai itashimasu.

(Maaf, tolong namanya di sini)


  1. Moushi wake gozaimasen

Moushi artinya ‘mengatakan’, wake artinya ‘alasan’, dan gozaimasen artinya ‘tidak ada’, maka bila diterjemahkan secara harfiah berarti ‘tidak ada alasan untuk mengatakan’. Apa kaitannya dengan permintaan maaf? Orang Jepang mengutarakan ungkapan seperti ini karena merasa takut tidak mampu memenuhi keinginan mitra wicara, sehingga ia meminta maaf. Misalnya seorang customer menelepon pihak hotel dan meminta disambungkan ke Mr. Tanaka, tetapi ternyata Mr. Tanaka belum check in, maka staff hotel akan mengatakan,

Moushi wake gozaimasen ga, Tanaka sama wa mada chekku in sarete irasshaimasen.

(Maaf, Pak Tanaka belum check in)


Namun dalam konteks apabila kata ‘maaf’ ini sebagai kata benda, maka yang digunakan adalah kata yurushi. Berarti kalau ‘meminta maaf’, ‘meminta ampunan’, bahasa Jepangnya adalah yurushi o kou. Jadi misalkan kita ingin meminta maaf seperti kalimat berikut;

Dia bersimpuh di tanah dan meminta maaf kepada Tuhan.

(Kare wa chimen de hizamazuite Kami no yurushi o kou)


Ekspresi permohonan maaf yang beraneka ragam seperti ini menunjukkan bahwa bangsa Jepang memiliki nilai-nilai yang cukup kompleks untuk dipahami oleh bangsa di luar Jepang dalam hal pengungkapan rasa penyesalan. Bagi orang Jepang sendiri hal semacam ini bukanlah suatu masalah karena memiliki sama rasa. Bagaimana pun dari sini kita bisa belajar dari satu sisi karakteristik bangsa Jepang bila kita ingin melakukan bekerjasama dan lain sebagainya.


Kebebasan terkontrol

Bebas bukan berarti melanggar hak dan kebebasan orang lain. Kebebasan dalam konsepsi orang Jepang berarti kebebasan itu memberi ruang kepada seseorang utuk berbuat atau berpendapat tentang sesuatu namun harus tetap terikat pada norma moral dan adat kebiasaan. Seorang anak diberi kebebasan oleh orang tuanya untuk mabuk sake sejak usia dua puluh satu tahun, atau bebas hanya sekali pada waktu-waktu tertentu, seperti saat kelulusan. Namun di sisi lain kebebasan itu tidak disalahgunakan oleh anak tersebut. Orang tua secara kovensional memberi kebebasan kepada anaknya setelah dianggap usia dewasa sekitar dua puluh tahun bagi perempuan dan duapuluh satu tahun bagi laki-laki. Sebelum usia itu seorang anak masih dianggab belum dewasa, dan anehnya komitmen seorang anak untuk patuh terhadap etika moral sangatlah tinggi, sehingga kecendrungan untuk mematuhi orangtua dan moral masyarakat pun menjadi lebih tinggi.

Di Jepang, pemerintah memberi kebebasan kepada toko-toko buku untuk menjual buku, majalah, dan kaset porno yang ditempatkan pada koridor tertentu. Pembatas antara stand buku umum dengan stand berbau pornografi hanya sehelai tirai yang bertuliskan ‘Di bawah usia delapan belas tahun dilarang masuk’. Pelanggan di atas usia yang ditentukan dengan santai keluar masuk koridor tanpa rasa risih atau pun canggung, dan yang mengherankannya lagi, anak-anak di bawah umur yang lewat di mulut koridor itu justru seolah-olah dingin tanpa perhatian, melenggang tanpa rasa penasaran untuk mengintip ke dalamnya. Ini adalah komitmen, ini adalah kebebasan bermoral yang diajarkan masyarakat dengan sendirinya. Para anak atau remaja Jepang beranggapan kebebasan sebagai orang ‘dewasa’ pasti dapat diraih setelah secara moral masyarakat mengakui bahwa ia telah bebas. Oleh karena itu ia memilih menunggu dikatakan ‘dewasa’ untuk masuk ke dalam koridor itu.

Ukuran kebebasan bagi orang Jepang bukanlah dilihat dari kacamata agama melainkan dilihat dari segi etika moral. Agama merupakan urusan individu yang memang harus dijunjung tinggi secara pribadi dan diakui juga oleh orang lain, sedangkan etika moral merupakan urusan yang selalu bersinggungan dengan komunitas, oleh karenanya kebebasan tidak boleh melanggar moral, sebab akan bersinggungan langsung dengan masyarakat, dan jika etika moral itu dilanggar maka berarti kebebasan pribadi telah melanggar kebebasan masyarakat.


Aktivitas di hari tua

Kejenuhan hidup memang selalu terasa bagi sebagian orang Jepang, apa lagi kalau tinggal masa pensiun yang harus dijalani. Orang Jepang yang sudah lanjut usia atau pensiun dari pekerjaan akan mencari kegiatan sosial untuk menghabiskan hari tuanya. Kegiatan sosial ini bisa melahirkan komunitas-komunitas yang memiliki kegiatan rutin, seperti klub-klub olah raga, golf, rekreasi dan lain-lain filosofi hidup di hari tua digambarkan dengan ungkapan ‘Kame no kou yori Toshi no kou’, dapat diinterpretasikan bahwa keberhasilan dari usia lanjut itu seperti dari tempurung kura-kura, artinya semakin tua dalam hidup harus memiliki banyak persiapan baik spiritual, mental, maupun materi. Para orang tua ini banyak yang menjadi voluntir di negara Jepang. Selain itu gaya hidup dengan menghabiskan waktu tua dengan melakukan permainan pachinko, yaitu sejenis permainan ding-dong.


Filosofi membungkuk

Membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan adalah hal yang sangat normatif bagi orang Jepang. Sikap ini dilakukan biasanya pada saat bertemu atau berpisah sebagai tanda penghormatan. Semakin rendah membungkuk daripada mitra wicara, maka semakin hormat ia kepada mitranya itu, demikian juga sebaliknya. Berbeda dengan orang Indonesia saat bertemu atau berkenalan dengan orang lain, maka akan bersalaman, sedangkan orang Jepang akan membungkukkan badan. Ini mengandung filosofi pergaulan bahwa dengan menjaga jarak berarti saya tidak akan mengganggu privasi Anda, saya sungkan terhadap Anda. Bukan menjaga jarak berarti tidak ingin bergaul, melainkan justru suatu sikap hormat ia tunjukkan dengan membungkuk.


Budaya antri

Sikap memahami dan menghargai kepentingan orang lain, memahami hak dan eksistensi orang lain di sekitarnya, memahami pekerjaan yang diembannya, mungkin menjadi beberapa faktor yang membuat orang Jepang lebih terbuka dan sadar untuk berprilaku disiplin. Prilaku disiplin melahirkan tatanan hidup bermasyarakat yang penuh tanggung jawab dan tertib karena sesuai dengan hukum moral yang selalu ditanamkan dalam keseharian hidupnya. Ketertiban dalam berprilaku tercermin dalam budaya antri yang begitu mengakar secara otomatis dan menjadi kesadaran pribadi orang Jepang. Sikap ini melahirkan pola pikir yang senantiasa menganggap bahwa selain diri sebagai pribadi ada orang lain yang juga lebih memiliki hak untuk didahulukan sesuai proporsinya. Budaya disiplin dan rasa tertib menjadikan orang Jepang selalu berpikir segala sesuatu harus berjalan sesuai rencana dan aturan, sehingga apa yang dilakukan akan tertuntaskan dengan maksimal.

Apabila ada seseorang yang tidak sesuai aturan umum dalam masyarakat, maka orang itu akan dianggap ‘hen na hito’, (orang yang aneh) padahal mungkin bagi kita hal itu dianggap sepele, namun bagi orang Jepang, sedikit saja hal itu tidak sesuai dengan kebiasaan umum, sedikit menyimpang dari hukum moral yang berlaku secara otomatis, maka dalam pemikiran orang Jepang hal tersebut adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.


Budaya baca

Kemana pun kita pergi, hampir dipastikan di situ ada orang Jepang sedang membaca sesuatu, baca komik, novel, koran, majalah dan lain-lain. Membaca rupanya sudah menjadi pemandangan yang lumrah dalam masyarakat Jepang. Membaca bukan lagi dikatakan sebagai suatu hobi seseorang, melainkan sebagai kebiasaan umum yang sering dilakukan secara otomatis. Membaca dapat berarti suatu kegiatan yang bernialai rekreatif dan pelepas lelah bagi orang Jepang, karena konten yang disuguhkan umumnya diramu dengan gaya pembahasan yang lebih menarik dan ringan. Selain itu membaca dapat menjadi pengisi waktu luang, seperti saat menjelang berangkat ke kantor atau pulang dari kantor, atau sedang menunggu seseorang dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Jenis bacaan yang paling digandrungi adalah manga atau komik dan novel. Namun demikian jenis bacaan lain pun tidak berarti kurang diminati karena umumnya bacaan-bacaan yang serius pun dikemas dengan kemasan yang begitu menarik. Misalnya ilmu pengetahuan seperti sejarah, matematika, fisika, dan sebagainya dikemas dengan model manga, sehingga pembaca merasa nyaman dan terhibur saat membacanya. Selain mengutamakan kemasan yang ditinjau dari segi persuasifnya, buku-buku Jepang juga memperhatikan genre mana yang akan diangkat, untuk siapa buku tersebut diterbitkan dengan tujuan segala usia dapat menikmati bacaan tersebut. Sebagai contoh, ada komik khusus anak-anak, juga ada komik khusus dewasa, komik untuk politikus, komik untuk kedokteran dan lain sebagainya, sehingga semua kalangan bisa menikmati bacaan tersebut sesuai keinginan.


Hachimaki

Hachimaki adalah kain ikat kepala. Hachimaki adalah simbol semangat bangsa Jepang dalam bekerja. Kain ini pada mulanya sering diikatkan di kepala pada setiap perayaan sebagai simbol spirit kerja keras. Bagi para pekerja atau pelajar hachimaki membuat berkonsentrasi dalam pekerjaan atau dalam belajar. Setelah Perang Dunia II, hachimaki yang berlambang bendera Jepang (Hinomari hachimaki) sering dipakai oleh orang Jepang dalam setiap perayaan kenegaraan. Dan semakin terkenal ke seluruh dunia sejak novelis terkenal, Mishima Yukio melakukan bunuh diri dan di kepalanya mengenakan hachimaki.

Hachimaki adalah simbol alat kerja keras dan penyemangat yang tida tara, pada jaman perang hachimaki dipakai seorang samurai dalam berperang, atau pun pada saat akan melakukan harakiri. Jaman sekarang, dalam perusahaan-perusahaan handuk kecil terkadang berfungsi sebagai hachimaki yang diikatkan di kepala.


Kedisiplinan dan ketertiban

Kedisiplinan dalam gaya hidup orang Jepang tampaknya sudah mengakar sejak jaman nenek moyangnya. Pada Jaman feodalisme, kedisiplinan seorang samurai sangat tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya. Pada saat melakukan suatu ketetapan hati, maka orang Jepang berusaha merealisasikannya dengan disiplin, terbukti begitu diporakporandakan negaranya dalam Perang Dunia II, dan mampu bangkit hanya dengan waktu 35 tahun, semua itu karena disebabkan kedisiplinan berkomitmen. Perusahaan-perusahaan Jepang saat ini merajai dunia internasional, karena kedisiplinan dalam bekerja, kedisiplinan kerja sama antar perusahaan besar dan kecil, kedisiplinan dalam menetapkan tujuan dan lain sebagainya.

Kedislipinan melahirkan ketertiban, dan ketertiban ini menjadi suatu kebiasaan bangsa Jepang. Tertib menjalankan kehidupan pribadinya dan tertib karena mengikuti aturan yang berlaku, seperti tertib menyebrang jalan, tertib buang sampah, tertib mengantri, tertib saat naik eskalator, hal sepele memang orang Jepang ketika menggunakan tangga jalan, kalau di Tokyo dia akan berdiri di sebelah kanan, dan sebelah kiri untuk yang lewat, misalnya karena harus buru-buru dan lain-lain, kalau di Osaka sebaliknya, maka dapat difahami bahwa sikap ini mencerminkan perhatian terhadap kepentingan orang lain. Bahkan untuk melakukan kebutuhan sexual pun dilakukan dengan tertib, artinya kebebasan sex tidak menjadi suatu pelanggaran bagi norma agama dan negara, meskipun begitu kebebasan itu tidak seperti di negara-negara Eropa atau Amerika. Orang Jepang menganggap hal semacam itu adalah urusan personal selama tidak mengganggu atau memberatkan orang lain.


Negara teraman

Jepang adalah negara yang paling aman di dunia, Pengamanan di dalam kota berupa pos-pos polisi (kōban) pada titik-titik yang diperlukan. Sebuah kōban selain fungsinya sebagai pos keamanan tetapi juga sebagai tempat informasi dan pengarahan kepada masyarakat dalam kota. Mungkin cukup mengherankan bila di tempat-tempat vital seperti pertokoan, bank, kantor-kantor , dan lain-lain jarang ditemukan ada polisi yang berjaga, dan kalau pun ada semacam satpan tugasnya seolah-olah hanya untuk memberi pelayanan kepada pelanggan untuk ketertiban. Pos polisi ini biasanya dilengkapi dengan perlengkapan komunikasi yang cukup canggih yang dapat mengirimkan informasi daerah setempat ke stasiun polisi wilayah. Untuk memonitor segala kejadian dalam kota, umumnya pada titik rawan atau titik-titik ramai seperti sarana perbelanjaan, stasiun, alun-alun dan lain-lain, dipasang kamera di atas gedung sehingga apa pun yang terjadi segera dapat langsung ditangani. Bisa dibayangkan bila ada suatu kejahatan terjadi di suatu sudut kota, polisi pusat hanya memantau segala gerak gerik pelaku kejahatan melalui beberapa kamera, kemana pun ia pergi dan bersembuyi akan terdeteksi, sehingga kepolisian tidak perlu mengerahkan banyak aparatnya, kejar-kejaran seperti di Amerika, cukup dengan beberapa polisi penjahat dapat segera ditangkap.

Seorang perempuan misalnya berjalan sendirian tidak perlu dikhawatirkan karena kejahatan akibat perkosaan hampir tidak pernah terjadi, hal ini mungkin karena kebutuhan sexual dapat diperoleh dengan mudah namun tertib, rumah-rumah tidak perlu memiliki gembok rangkap, atau bahkan pagarnya yang tinggi berduri. Itu mungkin sebabnya rumah orang Jepang dari dulu didirikan dengan berdinding fusuma (dinding kertas penyekat yang dijadikan bilik). Dan kalaupun ada kejahatan, maka kejahatan yang paling tinggi adalah berupa kejahatan penjambretan yang dilakukan oleh anak-anak jalanan, atau pencurian, dan jenis pencurian pun umumnya pencurian yang harus dilakukan dengan alat dan keahlian tertentu seperti kartu kredit, pulsa telepon dan lain-lain, tidak ada pencurian berupa barang yang bagi pencuri Jepang tidak praktis, seperti mencuri barang-barang elektronik di rumah, apalagi kejahatan berupa curanmor, kendaraan curian di Jepang tidak akan laku, karena tidak ada penadah dan pembelinya, kalaupun ada pencurian mobil, itu karena motif lain dan bukan untuk dijual apa lagi dimiliki pribadi, bahkan sering kasus tersebut terjadi, mencuri kendaraan hanya untuk pergi ke suatu tempat setelah itu ditinggalkan begitu saja. Selain kejahatan seperti itu ada juga kejahatan profesional seperti pemalsuan, penipuan dan sejenisnya. Kejahatan lain seperti pembunuhan terjadi tidak lebih umumnya dikarenakan faktor stress, kebencian dan sejenisnya dan kalau ada motif karena materi, itu hanya sedikit. Meskipun demikian di Jepang tingkat yang paling tinggi persentasenya adalah kejahatan berupa pembunuhan.

Dari segi keamanan pada alat transportasi dan tempat-tempat publik, Sebuah hotel umumnya dibangun harus dengan uji kelayakan anti gempa, Jalan raya atau jembatan dibangun dengan perencanaan retakan yang terukur bila gempa terjadi. Negara Jepang pada umumnya termasuk negara yang aman dan nyaman, sarana yang serba praktis dan aman tampaknya menjadi suatu keharusan sebagai refleksi sebuah pelayanan dan jaminan negara kepada warganya.


Tantangan adalah motivasi

Keadaan alam yang tidak bisa dibanggakan membuat orang Jepang harus terus berpikir ekstra keras. Potensi yang mereka miliki hanyalah dalam kepala, paling tidak itulah yang harus mereka manfaatkan dan dikembangkan. Motivasi untuk bertahan hidup yang membuat orang Jepang terus membanting tulang.

Seperti yang telah diketahui, Negara Jepang hanya sebesar pulau Sumatra dengan memiliki 15% tanah pertanian, selebihnya bentangan pegunungan berapi baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Sebelah utara hampir sepanjang tahun selalu diselimuti suhu dingin kecuali beberapa bulan saja seperti di musim panas, sekitar bulan Juli sampai awal Agustus, sehingga di wilayah utara sering terjadi badai salju dan longsor salju. Maka karena ada tantangan ini mereka termotivasi untuk menciptakan tehnologi penyeimbang hawa panas pada tanaman gandum. Hebatnya lagi gandum itu ditanam dalam goa-goa bawah tanah. Jepang yang rawan gempa, sedikitnya 1-2 kali dalam sebulan terjadi guncangan, menjadikan mereka harus kreatif dalam konstruksi bangunan. Maka terciptalah sebuah bahan dinding anti retak.

Berbalik ke sejarah masa lalu, Jepang adalah salah satu pemenang dalam Perang Dunia I, selain Jerman dan Italia, meski kemudian pada masa Perang Dunia II diluluhlantakkan sekutu dengan bombardir bom atom di Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945, dan di Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945. Dan akhirnya menyerah kepada sekutu enam hari kemudian yaitu tanggal 15 Agustus 1945, dan tentu kita tahu Indonesia merdeka dua hari setelah menyerahnya Jepang kepada sekutu, yakni tanggal 17 Agustus 1945, ini berarti usia kemerdekaan Indonesia dan mulainya penderitaan Jepang seharusnya sama. Sejak tahun itu, penderitaan, kelaparan, cacat jiwa dan fisik bercampur baur, karena memang ternyata efek dari bom atom bukan saja guncangan secara fisik yang dihadapi, namun yang paling membahayakan adalah efek radiasi yang ditimbulkannya mengakibatkan penderitaan yang begitu mendalam. Meskipun begitu, musibah tersebut tidak lantas dihadapi dengan berdiam diri, melainkan dengan menganggap sebagai motivasi untuk bangkit sehingga Jepang terus memperbaiki diri baik internal bidang ekonomi maupun politik, lalu ‘meminta pengampunan internasional’ dengan penuh rasa bersalah. Bangsa Jepang berpikir, ini adalah resiko yang harus ditanggung sekaligus juga tantangan yang harus dihadapi, dan karena keadaan seperti inilah Jepang termotivasi untuk mengubah keadaan negaranya.

Maka pada tahun 1980-an Jepang merangkak menjadi negara yang kreatif dan produktif baik industri maupun perdagangan. Hingga memasuki era tahun 1990-an Jepang menjadi salah satu negara yang disegani oleh negara-negara lain karena kemajuan tekhnologinya yang begitu pesat. Itu berarti hampir selama 35 tahun sejak tahun 1945 sampai tahun 1980-an Jepang telah berhasil kembali ke kehidupan yang lebih baik. Bandingkan dengan Indonesia, yang sudah menginjak usia ke-63 tahun saja belum ada tanda-tanda kemajuan, melainkan tanda-tanda kemunduran. Mungkin persoalannya karena di Indonesia tidak ada tantangan, sumber apapun tersedia hingga dapat diperoleh dengan mudah.


Menantang tantangan

Diberi tantangan malah berbalik menantang, prinsip ini adalah hal yang selalu diterapkan oleh orang Jepang. Ketika mereka dilahirkan dalam keadaan tidak punya apa-apa, maka mereka akan berusaha untuk memiliki ‘apa-apa’ itu. Ketika mereka dibebankan oleh sesuatu yang belum mampu untuk melakukan sesuatu, maka berarti mereka harus mampu melakukan itu. Demikian juga dengan segala tekhnologi hasil karya Jepang adalah lahir karena tantangan. Ketika bangsa Jepang merasa hanya memiliki wilayah yang kecil maka dalam pembangunan kota harus dikembangkan secara vertikal karena itu cara satu-satunya, Misalkan pembangunan sebuah hotel secara vertikal harus memiliki keseimbangan antara tingkat ke atas dan ke bawah dalam perbandingannya, jadi misalkan jika dibangun lima puluh lantai ke atas maka ke bawah paling tidak dibangun lima lantai. Hal ini untuk menambah kekokohan kalau-kalau terjadi gempa. Bahkan antara kaki hotel yang satu ke hotel yang lain dihubungkan dengan sebuah koridor, sehingga siapa pun yang ingin pergi ke tempat lain atau ke sebuah stasiun bawah tanah, maka tidak perlu harus ke permukaan dulu melainkan langsung melalui koridor tersebut. Sebuah hotel yang tinggi umumnya mimiliki daya kelenturan yang aman untuk menghadapi gempa karena pada konstruksi fondasi hotel selalu dipasangi semacam pegas yang berdiameter cukup besar untuk meyeimbangkan guncangan.

Di bawah jalan utama kota-kota besar terdapat jalan dan sarana perbelanjaan yang dipadati orang, di bawahnya lagi jalan kereta api bawah tanah, fenomena ini bisa dirasakan kalau tengah malam tiba, di permukaan sudah sepi sedangkan di bawah tanah masih banyak aktivitas. Anehnya, mungkin kita bertanya-tanya mengapa bisa demikian, bukankah Jepang negara yang rawan dengan gempa, tapi mengapa justru banyak membangun sarana-sarana umum di bawah tanah, bayangkan saja jika gempa terjadi jutaan orang akan mudah terkubur!, tapi tidak, bangsa Jepang ternyata sudah berpikir jauh ke depan, mereka sudah belajar dari pengalaman, adanya tantangan bagi mereka bukan berarti harus memutar haluan, melainkan berpikir bagaimana caranya tetap hidup dan sukses meskipun dalam tantangan tersebut. Terbiasa dalam tantangan membuat seseorang untuk terus berpikir, demikian juga dengan bangsa Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar