interaksi, stratifikasi dan Spirit Bangsa Jepang

Interaksi dan stratifikasi sosial

Warisan budaya leluhur yang mengutamakan hidup kedamaian dengan alam mengajarkan generasi Jepang dewasa ini untuk senantiasa memelihara alam dalam keseimbangan. Ajaran ini lahir dari rasa keinginan hidup tenang dengan keselarasan alam dan manusia yang saling berinteraksi.

Pada awal kebudayaan jaman Yayoi, interaksi dengan alam diwujudkan dengan pemeliharaan dan penyeimbangan segala mahluk hidup. Dalam proses interaksi antara manusia, diwujudkan dengan penegakan nilai-nilai moral untuk saling memahami satu sama lainnya. Kemudian setelah masuknya agama Budha sekitar abad ke-6, hubungan antar manusia tidak sekedar mengacu pada alam saja, tetapi juga kesinambungan antara manusia dengan manusianya. Lalu dalam perkembangan berikutnya sistem stratifikasi semakin jelas, terutama setelah masuknya sistem pemerintahan Bakufu (pemerintahan yang dijalankan dari tenda, pada saat itu sistem komando dipegang oleh seorang jendral daiitai shogun yang berada di medan perang). Pemerintahan ini berlangsung sejak jaman Kamakura (1185-1336). Pada Jaman ini golongan sosial bangsa Jepang dibagi dalam empat golongan yang dikenal sebagai shinoukoshou, yaitu;

  1. Shi berasal dari kata bushi (golongan militer).

  2. Nou berasal dari kata noumin (golongan petani).

  3. Kou berasal dari kata kouin (golongan pegawai).

  4. Shou berasal dari kata shounin (pedagang).

Kouin dan shounin walaupun dianggap sebagai golongan yang berkasta rendah, namun pada masa pemerintahan setelah jaman Meiji (1868) menjadi golongan yang paling berpengaruh karena sangat berperan dalam kemajuan perdagangan dan kemampuan bangsa Jepang.

Menurut Chie Nakane dalam bukunya Masyarakat Jepang, hubungan antar manusia di Jepang umumnya menganut azas hubungan vertikal. Struktur masyarakat Jepang yang menggunakan hubungan atas-bawah ini sangat mempengaruhi sikap, tindakan, kebiasaan dan etos kerja bangsa Jepang. Hubungan tersebut dapat digabarkan melalui konsepsi berikut:

  1. Hubungan Oyabun-Kobun (bapak dan anak)

Prinsip hubungan Bapak dan Anak, menejer dan bawahan, bos dan anak buah, penguasa dan rakyat, ini mengandung filosofi pangayom dan orang yang diayomi, pelindung dan yang dilindungi. Konsepsi Oyabun-Kobun ini diterapkan dalam kerjasama perusahaan yang saling menguntungkan. Sebuah perusahaan besar akan memelihara perusahaan kecil, demikian juag perusahaan kecil akan menyediakan kebutuhan perusahaan besar. Di Jepang dikenal istilah sogososha, yaitu perusahaan-perusahaan besar yang memiliki anak perusahaan yang hubungannya saling ketergantungan. Misalnya perusahan besar yang memproduksi televisi, maka mengambil barang-barang komponen kecilnya dari perusahaan lain atau anak perusahaan yang memproduksi komponen tersebut, kebutuhan akan komponen itu sama sekali tidak mengimpor dari negara lain. Maka tak heran jika perusahaan Jepang di mana pun selalu bisa bertahan dalam menghadapi kerisis, karena adanya keterikatan integral anatar perusahan besar dengan perusahaan kecil.

  1. Hubungan Senpai-Kohai (senior dan yunior).

Hubungan senioritas bagi orang Jepang adalah sesuatu yang harus dipertahankan demi menjaga dan memelihara kepatuhan, penghormatan , dan disiplin kerja. Senioritas tidak dimaknai sebagai arogansi terhadap yunior, melainkan sebagai pembelajaran yang harus dipatuhi secara moral. Sistem hubungan ini tidak membatasi usia melainkan siapa yang lebih dulu memahami nilai pekerjaan itu, maka akan dihormati sebagai senior.

  1. Orientasi tanggung jawab kelompok

Jenis interaksi ini mungkin lebih tepat bersifat integritas horizontal, artinya kekuasaan dan tanggung jawab tidak berada pada satu orang saja. Tanggung jawab dijunjung sebagai jabatan funsional atau status sosial dalam masyarakat. Dalam perusahaan, hubungan ini melahirkan etos kerja bahwa adanya hasrat untuk melakukan semua pekerjaan sesuai dengan keahlian, kemampuan masing-masing secara proporsional, the man on the right job.

Lihat juga di bahasa-jepang.com


Bekerja sebelum senang

Dalam etos kerja bangsa Jepang, selalu mencerminkan bahwa setiap karyawan untuk selalu disiplin terhadap tugas-tugasnya. Namun demikian penghargaan kepada diri sendiri pun harus tetap diperhatikan. Orang Jepang hampir selalu menempatkan pekerjaan sebelum kesenangan, dan penghargaan untuk dirinya itu umumnya dengan melakukan kanpai, tos bersama dengan minum sake. Bagi sebagian orang, bekerja memberikan arti hidup, oleh sebab itu keseimbangan relaksasi dan pekerjaan pun benar-benar diperhatikan. Meskipun kita melihat bahwa orang Jepang sepertinya bekerja tanpa mengenal waktu, namun sebenarnya rasa lelah dapat ditebus dengan rasa santai, ada pribahasa yang mengatakan ‘Inochi wa sentaku’, artinya hidup adalah mencuci, maksudnya rasa penat dan lelah sebagai kotoran dalam jiwa dan raga sewaktu-waktu harus dibersihkan seperti halnya pakaian. Secara fisik mungkin seseorang itu kelihatan membanting tulang, kerja mati-matian namun sesungguhnya, orang Jepang selalu membayar kelelahan itu dengan kesenangan, seberapa pun banyaknya pekerjaan, maka penghargaan terhadap diri pun diutamakan pula. Sepulang lembur kerja, orang Jepang selalu membiasakan diri dengan kegiatan-kegiatan yang bisa menyegarkan jiwa dan pikiran, misalnya ke kafe untuk minum sake, berendam dengan air hangat di bak mandi, main pachinko, relaksasi menonton TV dan lain-lain. Mereka berprinsip waktunya bekerja maka untuk bekerja, waktunya bersenang-senang maka untuk bersenang-senang, karena waktu itulah sebagai kesempatan yang berharga, kesempatan untuk bekerja dan kesempatan untuk bersenang-senang. Kepribadian dalam bekerja keras tidak semata-meta harus melupakan waktu kesenangan pribadi, hal ini menjadikan orang Jepang hidup dalam disiplin waktu dan disiplin dalam pekerjaan. Mereka menggambarkan waktu apapun harus diutamakan dengan ungkapan ‘Binbou Hima Nashi’, artinya orang yang paling miskin adalah orang yang tidak pernah memiliki waktu luang.

Jadi, kita bisa lihat mengapa orang Jepang yang kerjanya selalu lembur, dan dikatakan hatarakibachi tapi selalu tampak sehat dalam pekerjaan berikutnya, hal itu karena keseimbangan antara kesibukan dan kesenangan selalu berjalan dengan harmonis.


Spirit Wakon yousai

Wa mengacu kepada konsep yang berarti ‘kejepangan’, dan kon berarti ‘jiwa;spirit’, dan yōsai berarti ‘kemampuan; bakat; keahlian orang barat’. Maka konsep wakon yousai adalah cerminan cara bertindak dan berpikir orang Jepang. ‘Japanese spirit and Western knowledge’ – semangat sebagai bangsa Jepang tapi pengetahuan barat; jiwa tetap sebagai orang Jepang tapi pengetahuan orang barat. Ini adalah konsep untuk menggambarkan bahwa meskipun berpikir seperti orang barat namun jiwa tetap orang timur. Kesadaran akan kemampuan hati pada orang Jepang tidak akan mampu dikalahkan kemampuan akal, akal sebagai pemikir tapi hati yang mempertimbangkan. Ilmu pengetahuan boleh diambil dari manapun, namun tetap budaya dan karakter yang melekat dalam hati tidak boleh ditinggalkan.

Sikap wakon yōsai diaplikasikan dalam setiap produk Jepang. Suatu produk diciptakan pada umumnya selain mempertimbangkan kecanggihan tetapi juga memperhatikan fungsi dan estetikanya. Ini berarti keseimbangan antara nilai rasa dan nilai pikir berjalan seimbang.


Spirit Bushidou

Bushi artinya ‘militer’ atau ‘tentara’ dan do artinya ‘jalan, cara’. Bushidou berarti ‘cara militer’,’jalan militer’,’ala militer’. Semangat bushido adalah semangat yang dimiliki bangsa Jepang dalam melakukan setiap pekerjaannya seperti semangat militer. Kedisiplinan adalah hal yang sangat diutamakan dalam menciptakan etos kerja dalam manajemen perusahaan Jepang. Filosofi bushido selalu diterapkan dalam setiap kinerja perusahaan. Bushido memberikan semangat pantang menyerah berusaha keras dalam pencapaian tujuan.

Semangat bushido melahirkan rasa nasionalisme yang begitu besar, yakni perlindungan negara kepada warga negaranya dan demikian juga sebaliknya. Naionalisme ini kemudian mempererat kerjasama antar perusahaan Jepang baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang pada akhirnya produk Jepang dapat dipasarkan ke seluruh dunia. Dengan semangat bushido persaingan antara perusahaan sejenis bukanlah menjadi hambatan bagi mereka, melainkan sebagai tantangan untuk lebih kreatif dalam penciptaan produk-produk baru, sehingga seperti diketahui sampai sekarang pun banyak produk Jepang bermunculan tak habis-habisnya.


Spirit Samurai

Samurai lahir sejak dimulainya jaman feodalisme Jepang yaitu pada periode Heian, tahun 1158-1185. Samurai pada awalnya golongan pendekar yang membantu menjaga dan mengamankan tanah milik para daimyo (tuan tanah), yang kemudian pada era berikutnya menjadi cikal bakal kelahiran kekuasaan shogun (militer). Golongan samurai dalam stratifikasi masyarakat Jepang pada saat itu, termasuk pada kasta rendah, karena sebagai pekerja para daimyo. Golongan yang sejenis dengan samurai adalah rounin, yaitu samurai tak bertuan. Rounin adalah para pendekar yang pekerjaannya serabutan tanpa menetap dan dibayar oleh daimyo tertentu setelah melakukan tugas yang diperintahkan.

Senjata yang biasa dibawa oleh seorang samurai adalah katana (pedang) yang berukuran panjang dan pendek yang memiliki satu bilah tajam dan runcing, karena tujuannya selain bisa untuk menebas juga agar dapat menusuk. Katana berukuran panjang digunakan untuk berperang, dan katana yang berukuran pendek untuk melakukan harakiri.

Sikap hidup seorang samurai adalah berkomitmen menjaga nama baik dan kehormatan diri sendiri, majikan dan golongan, hingga kalau perlu memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Seorang jiwa samurai tidak akan memiliki jiwa yang lemah, melainkan kekuatan semangat dan keberanian yang selalu tertanam dalam setiap hidupnya. Filosofi hidup sampai mati demi mempertahankan kehormatan ini melahirkan tindakan penebusan jiwa raga yang dikenal sebagai harakiri atau Seppuku. Hara artinya ‘perut’, kiri berasal dari kata kerja kiru yang artinya ‘memotong’, maka harakiri berarti ‘memotong perut’. Pandangan dewasa ini tentang harakiri dinggap sebagai ‘bunuh diri’ denga cara menusukkan pedang ke perut. Pada mulanya, harakiri dilakukan oleh seorang samurai yang ingin melakukan penebusan dosa karena sudah melakukan perbuatan yang tidak mulia. Tata cara untuk melakukan harakiri jika memungkinkan harus disaksikan oleh pemuka-pemuka samurai sebagai pelajaran bagi semua samurai, Pelajaran yang dapat diambil dengan menyaksikan harakiri adalah agar perbuatan yang tidak mulia itu tidak diikuti oleh samurai lainnya. Oleh karena itu dosa tersebut dapat dihapus hanya dengan melakukan kredo harakiri. Harakiri bila dilakukan dalam keadaan tidak genting, misalnya tidak dalam kondisi perang, diselenggarakan dengan upacara yang penuh ketenangan. Pelaku harakiri mengenakan kimono serba putih sebagai tanda kesucian.

Selain untuk menebus kesalahan, harakiri juga dilakukan untuk mempertahankan kerahasiahan seseorang, golongan ataupun negara agar rahasiah tidak terbongkar musuh. Juga harakiri atau seppuku bisa dilakukan oleh seorang samurai yang merasa tidak mampu menjalankan tugasnya, semacam permohonan maaf.

Tingkatan untuk melakukan penebusan dosa melalui harakiri tidaklah sama, hal ini pun bergantung pada pandangan seseorang yang akan melakukan harakiri itu. Apa bila si pelaku merasa bahwa telah menghianati dirinya sendiri atau keluarga dan untuk mensucikan atau menebus dosanya dengan jalan harakiri, maka ia akan melakukannya dengan cara menusukkan katana di sebelah kiri kemudian menariknya ke arah sebelah kanan perut atau memotong perut dari kiri ke kanan. Apa bila perbuatan tidak mulianya merugikan golongan tertentu yang ia hormati, maka harakiri dilakukan dengan cara seperti cara pertama lalu menarik katana ketengah atas membelah ulu hati, dan bila si pelaku berbuat dosa kepada negara dan masih merasa bahwa dengan cara itu tidak akan tertebus maka, ia akan melakukan harakiri seperti cara di atas lalu minta di penggal kepalanya. Pemenggalan ini disebut sebagai kaishaku yang dilakukan atas permintaan yang bersangkutan.

Pelajaran yang dapat diperoleh dari kredo harakiri ini adalah, bagaimana suatu kesadaran dan sportifitas jiwa samurai dibuktikan. Kesadaran ini tidak diperintah oleh orang lain, melainkan keputusan pribadi yang sadar secara otomatis demi menjunjung tinggi kehormatan dan rasa malu. Jasad fisik bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan bagi jiwa. Jiwa yang kotor dibersihkan dengan mengorbankan jasad fisik. Ibarat melepaskan jiwa dari tempat yang kotor, karena jiwa sesungguhnya hakiki. Oleh karena itu seorang samurai menganggap bahwa kehormatan itu pantas dipegang oleh jiwa yang bersih.


Spirit Konfusianisme

Ada pendapat mengemukakan bahwa keberhasilan Jepang dalam menata dan mengembangkan negaranya sedikit banyaknya karena dipengaruhi oleh pemikiran ajaran konfusianisme meski tidak secara langsung. Padahal di negara asalnya yaitu Cina, ajaran kofusianisme tidak berkembang sebagai menggerak negara melainkan sebatas pemahaman keyakinan yang harus dijadikan prilaku dalam pergaulan. Hal yang perlu dicatat adalah ternyata ajaran Konfusianisme yang diadaptasi Jepang sudah mengalami modifikasi yang disesuaikan dengan kepribadian bangsa Jepang itu sendiri meskipun dasar-dasar pokok yang dianutnya tetap sama, sehingga hal ini dapat dibedakan dengan ajaran Konfusianisme yang ada di Cina. Besar kemungkinan bahwa Konfusianisme di Jepang telah berasimilasi dengan ajaran Shintoisme dan Budhisme, dan inilah perbedaan pokoknya. Dalam ajaran Konfusianisme Cina ada point yang menegaskan bahwa kebajikan sebagai amal perbuatan yang utama, sedangkan dalam Konfusianisme Jepang kebajikan sebagai amal perbuatan yang harus diwujudkan dengan loyalitas.

Ajaran Konfusianisme mengajarkan bahwa kebajikan adalah ajaran yang utama. Oleh karena itu kebajikan haruslah dimiliki oleh setiap manusia, karena manusia pada dasarnya memilki sifat-sifat baik. Dalam konsepsi bangsa Jepang kebajikan yang paling utama haruslah berwujud loyalitas yang merupakan sifat kebaikan, oleh sebab itu loyalitas harus pula dimiliki dengan hati yang penuh ketulusan. Namun demikian loyalitas tidak bisa diterapkan pada ketidakadilan karena loyalitas hanya dapat dipraktekkan bersama dengan keadilan dan kebenaran.

Konsep loyalitas dalam Konfusianisme di Cina dipraktekan bersamaan dengan adanya kebenaran dalam hati nurani seseorang, namun konsep loyalitas di Jepang walaupun ada kebenaran dalam hati nurani tetapi juga harus dibarengi dangan adanya ketulusan atas kesetiaan kepada atasan. Dengan demikian seorang bawahan haruslah mencurahkan seluruh hidupnya kepada atasannya.

Pada saat pemerintahan Shogun Tokugawa, semua prajurinya begitu loyal kepadanya, kemudian setelah pemerintahan dipegang oleh kaisar Tenno, rakyat pun patuh dan loyal, bahkan pada saat Tenno memerintahkan invasi dan perang ke negara lain, semuanya tetap patuh meskipun akhirnya harus hidup menderita karena bom atom meluluhlantakan Hiroshima dan Nagasaki. Walaupun begitu, loyalitas telah mampu membangun Jepang dari penderitaan dengan hanya dalam kurun waktu dua puluh lima tahun, semua tatanan negara, sosial dan perekonomian kembali berangsur pulih.

Dalam sebuah perusahaan, seorang Jepang dengan loyalitas yang tinggi akan sangat dihargai dalam sebuah perusahaan, bahkan dalam perusahaan swasta sekalipun banyak karyawan yang dipekerjakan seumur hidup. Seorang karyawan bahkan hampir tidak pernah cepat pindah ke perusahaan lain, sikap ini sepertinya tidak begitu biasa dalam sistem perusahaan. Semakin lama bekerja berarti semakin berpengalaman dalam bidang tertentu, oleh karena itu, prinsip yang tertanam dalam etos kerja perusahaan Jepang adalah bahwa seseorang tidak akan menjadi ahlinya bila tidak konsentrasi dan menetap dalam pekerjaannya. Karena adanya konsepsi demikian, maka bila ada seseorang yang cendrung berpindah-pindah perusahaan maka hampir dipastikan ia termasuk karyawan yang tidak ahli, oleh sebab itu belum tentu ia diterima di perusahaan berikutnya. Selain dianggap tidak cukup ahli, terbentuknya loyalitas karyawan tersebut akan dianggap lama dalam penyesuaiannya sebab harus mengikuti kelompok baru dalam perusahaan itu.


Spirit Shounin

Shounin berasal dari kata shou yang artinya ‘berdagang’, dan nin yang berasal dari kata hito artinya ‘orang’, jadi shounin dapat diartikan sebagai orang yang berdagang atau pedagang, saudagar. Setelah jaman Meiji (1868) golongan ini menjadi penguasa ekonomi Jepang secara keseluruhan. Para shounin ini kemudian banyak yang menetap di perkotaan hingga akhirnya melahirkan pengusaha-pengusaha handal yang kemudian terbentuklah perusahaan yang disebut zaibatsu, yaitu perusahaan yang dikelola oleh satu keluarga.

Prinsip semangat seorang shounin adalah dengan selalu menciptakan keseimbangan dan kerja keras maka keuntungan akan diraih dangan memuaskan, jiwa dagang seorang shounin selalu melekat dalam generasi shounin.


Spirit Kamikaze

Kamikaze berasal dari kata Kami yang artinya ‘Tuhan atau Dewa’ dan kaze artinya ‘angin’, maka kamikaze berarti ‘angin Tuhan. Istilah kamikaze muncul pada saat Jepan sedang melakukan perang dengan Kerajaan Mongol. Pasukan Mongol yang pada masa itu merupakan pasukan yang sedang berjaya di dunia. Setelah menundukkan Korea mereka berupaya berinvasi ke Jepang. Pasukan Jepang yang pemberani siap menanti di pesisir pantai Hakata, bagian Utara pulau Kyuushu. Namun pasukan itu jauh lebih kecil daripada pasukan Mongol yang berjumalah sekitar 25.000 personil. Dengan keberaniannya pasukan Jepang tetap bersiap siaga di perbatasan pulau Kyuushu. Hingga akhirnya pada saat serangan itu dilakukan, tiba-tiba angin kencang menenggelamkan kapal pasukan Mongol dan banyak korban pun tak bisa dielakkan. Karena merasa pasukannya berkurang dan tidak mungkin menguasai Jepang dengan sisa pasukan tersebut, lalu pasukan Mongol itu kembali ke semenanjung Korea. Melihat fenomena alam tersebut, orang Jepang beranggapan bahwa itu adalah angin kiriman Dewa uantuk menolong bangsa Jepang, maka aingin tersebut diberi nama Kamikaze.

Semangat kamikaze rupanya selalu ditanamkan dalam pasukan Jepang pada saat itu. Dengan selalu berkeyakinan bahwa Tuhan akan selalu membantu bangsa Jepang dengan kemauan yang keras dan tak kenal menyerah. Hingga tak dapat dipungkiri, Jepang bahkan pernah berhasil meluluhlantakkan pasukan Amerika di Pearl Harbor hanya dalam tempo sehari, tepatnya serangan yang dilakukan siang hari bolong. Dan serangan tersebut disebut sebagai serangan Kamikaze pasukan Jepang.

Konsep semangat Kamikaze dewasa ini pun tampaknya diterapkan pula dalam pengembangan perekonomian Jepang. Gelombang besar-besaran produk karya Jepang telah menyebar menguasai dunia, bahkan negara-negara yang sudah mapan ekonomi seperti Amerika, Jerman, Prancis, Inggris pun mulai memperhitungkan tindak-tanduk kekuasaan Jepang dalam bidang tehnologi dan perekonomian.

Kamikaze adalah suatu konsep serangan invasi ekonomi modern yang mengejutkan dalam jumlah besar dan tanpa ada yang bisa memperhitungkan.


Spirit Giri dan Ninjou

Konsep giri dan ninjou muncul pada jaman feodalisme. Giri maknanya sesuatu yang mengacu pada perasaan tugas dan kewajiban karena suatu beban moral. Giri juga mengacu pada suatu kewajiban sosial yang dibutuhkan dalam hubungan masyarakat secara vertikal, misalnya antara orang tua dan anak, majikan dan pelayannya, guru dan muridnya, atau bisa juga antar hubungan yang sejajar namun ada rasa saling menghormati, misalnya antar teman dan tetangga. Sementara itu, ninjou bermakna suatu perasan yang menyangkut simpati atau prikemanusiaan. Giri adalah apa yang pikiran kita katakan untuk dilakukan, sedangkan ninjou adalah apa yang hati kita katakan untuk dilakukan.

Dalam kebanyakan perusahaan Jepang dewasa ini, konsep giri dan ninjou ini dianggap sebagai elemen penting dalam hubungan kepegawaian. Seorang karyawan dapat melakukan apa saja sesuai yang diminta perusahaan sebagai cerminan penerimaan atas pelaksanaan konsep giri, dan ia juga dapat secara ikhlas melakukan tugas itu sebagai cerminan penghayatan atas konsep ninjou. Kedua konsep ini membentuk etos kerja dalam manajemen perusahaan Jepang.


Rasa saling percaya

Para bisnismen barat membuat perbedaan yang begitu jelas tentang urusan kerja dan rasa senang atau perasaan puas, namun pembedaan ini bagi orang Jepang adalah hal yang sangat samar. Bersosialisasi, misalnya dapat dikatakan sebagai bagian yang integral dari suatu hubungan bisnis, meskipun tidak dikatakan sebagai urusan bisnis, tapi ini adalah cara yang informal dalam karakter bisnis orang Jepang untuk mengatakan tentang adanya kepercayaan personal. Dan kepercayaan personal itu bagi mereka adalah hal yang lebih penting daripada hubungan yang sifatnya kontraktual. Di kala orang barat untuk membangun kepercayaan itu dengan membuat dan mengisi surat kontrak, maka orang Jepang membuatnya dengan kepercayaan dasar hati, urusan teken kontrak adalah hal nomor dua. Yang terpenting dalam hubungan bisnis perusahaan Jepang adalah apakah ada saling keterlibatan perasaan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu seorang pebisnis yang akan melakukan negosiasi dengan pengusaha Jepang akan lebih berhasil bila negosiasi dilakukan dari hati ke hati dengan langsung tatap muka daripada melalui surat atau telepon. Berhadapan langsung secara terus menerus akan membentuk kepercayaan personal.


Menghindari faktor dispromotif

Kita mungkin pernah merasa kecewa dengan pelayanan sebuah kasir swalayan, bukan karena senyuman atau ketidakramahannya, melainkan karena harga barang yang kita beli. Suatu ketika kita membeli barang dengan bandrol harga Rp.5.950,- lalu kita menyodorkan uang Rp. 10.000,- tapi kasir memberi kembalian Rp. 4.000,- plus permen, sebagai ganti uang yang Rp.50,-.

Hal ini juga pernah dialami teman saya orang Jepang, dengan wajah yang tampak keheranan ia bertanya kepada saya “ kore wa nani? (Ini apa?) sambil menunjukkan sebuah permen kepada saya. Saya maklum dia merasa bertanya-tanya, karena di Jepang hal seperti ini tidak akan pernah terjadi.

Hal sekecil ini merupakan politik dagang yang BODOH menurut mereka, karena secara tidak langsung sekecil apapun akan membawa kekecewaan bagi konsumen, atau paling tidak menimbulkan ketidaknyamanan yang akhirnya membawa ke keadaan dispromotif. Mengambil keuntungan dari hal yang sepele dengan cara seperti ini sesungguhnya telah menyepelekan perasaan konsumen, dan ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hubungan baik antara perusahaan dan konsumen. Di Jepang jika kita membeli barang seharga 9.999 yen, prudusen akan mengembalikan kembalian 1 yen, bila kita membayar dengan uang 10.000 yen. Maka 1 yen pun berharga nilainya.


Sportivitas dan budaya malu

Sportivitas dan budaya malu rupanya telah mengakar pada kebanyakan masyarakat Jepang. Ungkapan rasa malu tercermin di antaranya pada sikap dan tuturan orang Jepang. Begitu banyak bentuk-bentuk penghormatan dan isyarat-isyarat yang muncul dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ojigi adalah konsepsi dari bentuk penghormatan orang Jepang dengan cara membungkukkan badan, ini adalah implikasi bahwa orang Jepang merasa hormat dan sungkan kepada mitranya.

Pengakuan atas kekalahan dalam bisnis tidak dijadikan sebagai kegagalan melainkan sebagai pembelajaran yang harus diakui. Demikian juga dalam dunia politik, seorang perdana mentri atau menteri dalam kabinetnya akan mengundurkan diri tanpa diminta bila merasa tidak mampu atau gagal dalam menjalankan program-programnya. Ini adalah jiwa lapang dada dan sportivitas. Sejarah mencatat bahwa sejak tahun 1885 sampai tahun 2008, Jepang telah dipimpin oleh 58 perdana menteri, yang mestinya sudah menjadi negara yang masuk rekor MURI (Musium Rekor Internasional).

Kekhasan budaya malu bangsa Jepang salah satunya dapat dilihat dari pergaulan yang tidak saling menghinakan orang lain. Pengakuan akan eksistensi setiap individu menjadi cermin bahwa pribadinya pun akan selalu diakui orang lain. Inilah keseimbangan moral yang selalu dijunjung orang Jepang. Kita tidak akan pernah mendapatkan acara-acara sejenis Cek-n-Recek, Goshow, Buah Bibir dan lain-lain, karena materi yang disuguhkan lebih cendrung membuka ‘rasa malu’ orang lain.


Konsep uchi dan soto

Uchi artinya ‘dalam’ dan soto artinya ‘luar’. Ciri apakah yang menunjukan karakteristik uchi dan soto ini.

Orang Jepang untuk menunjukkan sesuatu hal yang berada di dalam lingkungan pribadi temasuk dirinya sendiri mengungkapkannya dengan koncep uchi. Maka berarti untuk mengutarakan di luar lingkungan pribadi dikatakan sebagai soto.

Konsep uchi dan soto berlaku bagi keluarga dan perusahaan. Konep ini melahirkan bahasa-bahasa hormat yang khas dan mungkin tidak ada dalam bahasa-bahasa lain kecuali sedikit. Munculnya bahasa hormat lebih disebabkan karena cara bangsa Jepang untuk memposisikan dirinya sendiri dan mitra wicaranya pada posisi yang dihargai. Sikap hormat yang mencerminkan konsep uchi dan soto ini direalisasikan dalam bentuk mengangkat bahasa mitra wicara atau merendahkan bahasa diri sendiri dengan tujuan secara otomatis mengangkat mitra wicara.

Dalam konsep perusahaan, Uchi berarti perusahaan sendiri tempat bekerja, dan soto berarti perusahan lain.


Etika kebajikan

Pada masa lalu orang Jepang lebih memperhatikan penampilan daripada ketulusan atau prestasi. Tata cara yang tegas dan penuh disiplin dalam masyarakat jepang menjadi bagian kepribadian setiap individu yang diwariskan dari generasi ke generasi. Berkaitan dengan kedisiplinan dan prilaku yang baik, orang Jepang sangat keras karena menganggap bahwa moral manusia dapat dinilai oleh setiap orang, oleh karenanya dalam sebuah perusahaan bila seseorang itu tidak mampu menjalankan kewajiban-kewajiban dan tugas-tugasnya, maka akan kehilangan posisinya.

Kewajiban-kewajiban pribadi untuk menghormati orang lain merupakan aturan tradisional dalam dunia usaha Jepang. Semua urusan baik yang menyangkut kepentingan umum maupun pribadi dilakukan dalam sejumlah aturan yang dirancang untuk mencegah atau mengatur perubahan. Misalnya bila terjadi pertengkaran, maka kedua belah pihak akan dikenakan sanksi yang akan menimbulkan rasa malu karena telah melanggar aturan yang pada akhirnya dianggap sebagai seseorang yang tidak memiliki etika kebajikan.

Itu sebabnya, untuk menghindari hal-hal yang memalukan tersebut, maka orang Jepang akan segera meminta maaf tanpa harus memperhitungkan siapa yang bersalah terlebih dahulu. Maka karena sikap seperti inilah bisa menciptakan keharmonisan dalam perusahaan.

Secara umum usahawan yang lahir dalam perusahaan seperti ini selalu menjaga keselarasan dan keharmonisan, terutama dalam hal pengakuan atas eksistensi partner kerja yang saling membutuhkan. Ia akan memiliki tanggung jawab pribadi yang sangat tinggi, menyukai kerja sama timbal balik dalam menjalankan usaha kelompok, cendrung mengutamakan kepentingan kelompok sehingga menyampingkan keinginan-keinginan pribadi dan tidak menonjolkan diri terhadap komunitas perusahaan, karena penilaian atas skill pribadi tamapak dari setiap pekerjaan dan kerjasama yang dihasilkan.


Fuji-san

Fuji-san adalah penyebutan lain untuk Fujiyama, atau Gunung Fuji. Gunung ini memiliki ketinggian 3.776 meter dari permukaan air laut, sebagai gunung berapi yang sudah tidak aktif. Sebagian besar masyarakat Jepang meyakini bahwa Gunung Fuji adalah gunung tempat para Dewa bersemayam, gunung yang dianggap paling sakral dan dibangga-banggakan, oleh karena itu sebagai bentuk penghormatan kepada Gunung Fuji, dipanggillah ia dengan sebutan Fuji-san. Dalam bahasa Jepang penyebutan –san di akhir nama merupakan panggilan agar terdengar lebih sopan, kata ini bisa berarti ‘tuan atau nyonya’. Maka kata Fujiyama dipersonifikasikan menjadi Fuji-san (Mr. Fuji). Di sisi lain kata san juga bisa berarti ‘gunung’ bila dimaknai sebagai gunung apa adanya.

Pada masa lalu Gunung Fuji dianggap sebagai tempat lahirnya Tenno (kaisar Jepang), oleh karena itu Tenno dikatakan juga sebagai keturunan para Dewa, sehingga pada jaman dulu Tenno sangat diagung-agungkan oleh rakyatnya, sekarang Tenno hanya menjadi lambang kekaisaran saja.

Gunung Fuji seringkali dijadikan simbol kebesaran, kemegahan dan kekokohan oleh perusahan-perusahaan besar Jepang. Perusahaan haruslah kokoh dan indah seperti Gunung Fuji, keindahan gunung ini karena sepanjang tahun selalu diselimuti salju pada puncaknya sehingga kesan putih elegan mencerminkan kegagahan dan keindahan. Fuji-san memberikan spirit tersendiri bagi kekuatan setiap perusahan Jepang.


Perbaikan produk

Kreativitas bangsa Jepang sangat mempertimbangkan kualitas dan estetika. Banyak produk-produk canggih yang digandrungi konsumen namun berusia singkat dan akhirnya kurang digemari. Fenomena ini tentu saja selalu menjadi bahan pemikiran para pelaku bisnis. Dalam menciptakan suatu produk, bangsa Jepang selalu mengutamakan keinginan konsumen tanpa harus mengubah kebiasaan dan pola pikir konsumen. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya produk itu bisa digemari dan terjual tanpa mengubah kebiasaan konsumen. Ibarat sebuah sepedah sebagai produk, suatu saat ia akan digunakan untuk mengarungi bukit yang sebelumnya memiliki jalan yang lurus menanjak, tentu saja mengayuh sepeda dengan medan yang lurus menanjak akan memakan waktu dan tenaga, maka orang Jepang tidak akan berpikir mengubah jalan lurus menanjak itu menjadi berliku-liku agar kemiringan tanjakan menjadi berkurang, melainkan mengubah bagaimana caranya sepedah tersebut lebih praktis dan canggih, sehingga bila dibawa mengarungi jalan lurus menanjak pun menjadi tidak masalah. Perumpamaan ini sama dengan bagaimana caranya sebuah produk itu mengikuti keinginan pasar tanpa mengubah image konsumen melainkan dengan menambah kecanggihan produk tersebut. Dan pada kenyataannya banyak produk-produk Jepang laku di pasaran karena estetika dan kecanggihannya.


Membuat brand yang disukai orang

Kecendrungan untuk membuat produk dengan mempertimbangkan psikologi konsumen adalah salah satu segi yang harus dimiliki oleh seorang marketer. Pemasaran ala Jepang agar konsumen menyukai produk tersebut umumnya dengan melihat aspek-aspek bawah sadar, misalnya berupa kecendrungan manusia. Perusahaan Fuji film yang sudah terkenal di seluruh dunia menggunakan strategi ini. Fuji film pada saat awal didirikan dengan pertimbangan brand seperti apa yang akan disukai oleh masyarakat, warna khas dan alamiah seperti bagaimana yang digandrungi masyarakat sesuai produk yang akan dibuat dan dipasarkannya, berbagai pertimbangan dilakukan, oleh karena itu diputuskanlah warna khas hijau, dan produk yang akan dilauncingnya diberi nama Fuji. Pertimbangannya adalah, semua orang memahami bahwa konsepsi hijau mengacu kepada sesuatu yang sejuk, indah, menarik untuk dinikmati, dan kaitan dengan produk yang dikeluarkannya adalah poto yang tentu saja tidak akan bisa terlepas dengan hal-hal berupa pencitraan baik alam maupun kesan, oleh karena itu, warna hijau sebagai ciri khas Fuji film. Kemudian mengapa diambil nama Fuji?, bagi masyarakat Jepang gunung Fuji adalah gunung yang mengandung nuansa keindahan dan elegan, oleh karena itu Fuji dijadikan merek dagangnya.

Sekarang pun kita akan menangkap kesan dari merek dagang tersebut, begitu kita melihat sebuah stand yang bertuiliskan Fuji Film, langsung akan terbersit di kepala kita tentang Jepang dan gunung Fuji.


Tanggap dan terampil

Sejak kekuasaan Shogun Tokugawa didobrak oleh komondor Matthew C. Ferry tahun 1853, Jepang mulai membuka diri terhadap perdagangan asing, meskipun sebelumnya pernah dibuka hubungan budaya dan perdagangan dengan Cina, Belanda dan Portugis. Orang Jepang yang tadinya konservatif dengan ilmu yang dimilikinya mulai membuka lebar-lebar budaya luar, terutama bidang tehnologi ilmu pengetahuan. Pemerintahnya mengirim para pemudanya ke Eropa dan Amerika untuk mempelajari tehnologi yang telah lebih dulu maju berkembang daripada Jepang.

Salah satu kecerdikan bangsa Jepang adalah kecepatan dalam meniru sebuah produk. Kekhasan barang tiruan tidak semata-mata sama persis dengan barang aslinya. Hal ini karena bangsa Jepang memiliki kreativitas yang tinggi untuk mengembangkan suatu produk. Peniruan lebih pada bahan dasarnya saja, sedangkan bentuk selanjutnya menggunakan kemampuan dan kreativitas sendiri. Dalam hal pemasaran, perusahaan Jepang lebih cerdik dan cepat dalam me-launching produknya, sehingga terkesan bahwa asal mula produk itu memang berasal dari Jepang dan seolah-olah itu ide orisinalnya, namun di sini kita bukan ingin menjasatis peniruannya tapi bagimana cara mereka mengembangkan kreativitasnya sehingga di situlah ide yang akan tercurah sesungguhnya. Hal inilah yang menjadikan produk-produk Jepang memiliki ciri khusus sehingga dapat membedakannya dengan produk lain.


Produk multifungsi

Orang mengenal bahwa bangsa Jepang adalah bangsa yang kreatif dalam menciptakan produk. Setiap produk memiliki kekhasan baik dari segi estetika, kepraktisan maupun fungsinya. Adakalanya sebuah produk diciptakan dengan memiliki fungsi ganda. Misalnya di era tahun 1990-an pesawat telepon di kantor terpisah dengan mesin fax, maka orang Jepang berpikir untuk menciptakan satu mesin yang bisa digunakan untuk menelepon sekaligus fax, fungsi mesin sebagai scanner, printer, photo copy kini bisa diperoleh dalam satu mesin. Di tahun 2000-an sepeda motor 4 tax mulai merajai pasar internasional karena dari segi efisiensi bahan bakar dan lingkungan lebih baik daripada sepeda motor 2 tax, bahkan di tahun 2007 mucul sepedah motor dengan sistem suspensi dan jet matic yang tentunya lebih canggih lagi, membuat polusi udara lebih terkurangi, hal ini tentu saja karena orang Jepang dalam membuat segala produk selalu mempertimbangkan estetika, fungsi dan efisiensi alam.

Pemahaman atas keinginan konsumen terhadap sebuah produk selalu dipertimbangkan atas keharmonisan lingkungan alam dan penggunanya, sebuah produk diciptakan harus selaras antara hati pengguna dengan barang yang digunakan. Jika kita datang ke Jepang, kita akan terkagum-kagum dengan berbagai produk yang sepele namun memiliki multifungsi.


Pemberian bonus

Kebanyakan dalam perusaah-perusahaan Jepang, karyawan mendapatkan bonus gajih pada bulan-bulan musim panas dan musim semi. Bonus merupakan penghargaan dari perusahaan atas kerja keras karyawan. Terbukti dengan adanya bonus, perusahaan biasanya lebih berkembang dan karyawan pun menjadi lebih semangat dalam pekerjaannya. Bagaimana pun besaran bonus yang dibayarkan berbeda-beda tergantung keuntungan perusahaan dari hasil penjualan jasa atau produknya. Ada atau tidaknya bonus juga akan menunjukkan kondisi perusahaan apakah dalam keadaan untung atau rugi.


Kerja seumur hidup

Perusahaan-perusahaan di Jepang umumnya menganut sistem kerja seumur hidup walaupun masih berlaku usia pensiun pada umur 60 tahun. Karyawan jarang sekali dipecat kecuali bila ia melakukan kriminal. Para pekerja yang sudah tua apabila sudah tidak begitu produktif dari segi fisiknya, lebih sering diserahi pekerjaan yang lebih ringan daripada dirumahkan atau berdasarkan berbagai pertimbangan lainnya. Dalam sebuah perusahaan biasanya sudah memiliki serikat kerja yang tujuannya untuk bekerja bersama manajemen perusahaan dalam menghadapi segala persoalan perusahaan apabila hal tersebut terjadi. Demikian juga seorang manager tidak akan langsung mengangkat pegawai baru untuk mengganti pegawai lama bila terjadi krisis dalam perusahaan, hal ini untuk menjaga hubungan baik antara pegawai dan manajemen perusahaan sehingga rasa loyalitas sampai titik darah penghabisan akan tercipta dan menguatkan rasa memiliki terhadap perusahaan.

Untuk mengurangi kejenuhan dan agar produktifitas karyawan tidak menurun akibat sistem kerja seumur hidup, biasanya perusahaan mengangkat pekerja baru dengan sistem kontrak. Ujian masuk perusahaan umumnya dilakukan setahun sekali setiap bulan April. Karyawan baru itu ditraining seperti pengenalan tentang perusahaan, mode operasi mesin, dan etika pemasaran bisnis. Untuk pelatihan yang membutuhkan keterampilan dalam proses waktu yang agak lama, umumnya perusahaan memberikan kursus, baik yang diselenggarakan di perusahaan maupun di luar perusahaan atau bahkan jika perlu ke luar negeri. Selain pengangkatan karyawan baru, dapat juga dilakukan sistem rotasi kerja. Sistem ini berguna bagi karyawan agar memiliki pengalaman yang lebih luas dan memahami berbagai bidang kerja, sehingga pada saatnya kelak bila diangkat sebagai menejer maka akan menjadi menejer yang memahami semua kinerja setiap divisi.


Sistem penggajian

Penggajian umumnya ditentukan berdasarkan dua kategori, yaitu kategori yang berdasarkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan seperti, kemampuan, catatan akademik, dan yang lain adalah yang termasuk kategori yang berkaitan dengan faktor sosial seperti, usia, lama pengabdian, dan jumlah keluarga. Serikat kerja turut berperan dalam keseimbangan gaji setiap karyawan, sehingga dalam perusahaan Jepang, jarang sekali para karyawan melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan gaji karena serikat kerja dalam perusahaan yang bersangkutan sangat baik dalam melakukan kompromi dengan manajemen perusahaan.


Seragam

Orang selalu beranggapan bahwa penampilan sangat penting untuk menentukan status, kepribadian, dan niat seseorang. Dalam etos kerja perusahaan Jepang uniform atau seragam menentukan dedikasi dan cara kerja yang efektif. Uniform di sini bisa berupa seragam yang sama ataupun penempilan yang rapi. Penampilan ternyata mampu membuat seseorang untuk bekerja lebih giat dan efektif, karena penampilan yang rapi menjastifikasi bahwa segala prilaku kita adalah seperti apa yang kita tampilkan. Dan ini adalah komitmen moral. Masyarakat Jepang yang bekerja di sebuah perusahaan, apapun jabatannya akan tampak rapi dan pada umumnya menggunakan jas, sehingga tidak bisa membedakan siapa manager, atau siapa cleaning service. Demikian juga ketika dalam sebuah perusahaan. Ada juga peraturan perusahaan yang mengharuskan karyawannya untuk menggunakan seragam khusus setelah sampai di tempat kerja. Seragam selain sebagai identitas juga dapat membawa kekompakan dalam perusahaan.


Memberi contoh dengan perbuatan

Sedikit bicara banyak berbuat, mungkin ungkapan ini tidak berlebihan bila diterapkan bagi orang Jepang. Karena sifatnya yang senang bekerja dan imajinatif maka untuk memahamkan seseorang akan sesuatu, ia akan menggunakan peragaan daripada hanya sebuah cerita atau instruksi. Dalam acara-acara televisi misalnya, banyak adegan-adegan konyol yang menggambarkan sesuatu yang khas dari bangsa Jepang, suatu reka ulang kejahatan digambarkan dengan animasi yang menarik, ramalan cuaca diilustrasikan dengan gambar dan animasi yang atraktif, sehingga orang tertarik untuk menyimaknya. Ini menunjukkan bahwa cara orang Jepang berusaha untuk membuat orang mengerti itu harus dicontohkan dengan sebuah gambaran atau tindakan.

Sewaktu penulis bekerja di sebuah perusahaan Jepang, penulis sebagai asisten meneger bagian produksi yang dibawahi dua orang menejer, yang satu menejer Jepang dan yang satu lagi menejer Indonesia. Pada saat beberapa dari pegawai bagian produksi kurang terampil dalam merapikan barang sesuai instruksinya, maka menejer Jepang memberikan contoh dengan, melintingkan lengan bajunya, menyampirkan dasi ke pundaknya dan berkata ”kou desu...kou desu...kou desu yo!” (begini...begini...begini loh), ia mengangkat barang dan merapikannya. Tindakan ini bukan karena menejer Jepang itu tidak bisa menginstruksikan dalam bahasa Indonesia melainkan baginya akan lebih praktis dan mudah difahami bila dilakukan dengan contoh perbuatan. Saya membandingkan dengan menejer Indonesia, pada saat itu menejer saya yang Indonesia memberi instruksi kepada pegawai lain dengan mengatakan, “yang itu ke situ...yang itu begitu...itu jangan begitu...!!!”, sambil menunjuk-nunjuk, mungkin perintah dalam bahasa Indonesianya fasih, tapi terbukti pegawai itu harus beberapa kali menyusun barang dengan posisi yang salah.

Hal ini menunjukkan bahwa betapa penting sikap orang Jepang yang ingin mencontohkan sesuatu dengan perbuatan.


Hidup sehat

Kebiasaan hidup sehat bagi orang Jepang selalu dilakukan baik di lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan tempat kerja. Dalam setiap perusahaan biasanya diberlakukan olahraga beberapa menit sebelum dimulai pekerjaan, dan ada juga beberapa menejer perusahaan memberikan kata-kata penyemangat untuk para karyawannya, menjelang akhir jam kerja sekitar jam tiga sore biasanya ada juga peregangan otot yang dilakukan secara serempak dalam sebuah perusahaan. Rutinitas seperti ini tampaknya sudah mengakar dalam setiap perusahaan Jepang.

Selain dengan berolah raga, hidup sehat masyarakat Jepang juga dilakukan dengan mengkonsumsi makanan-makanan yang mengandung gizi dan protein yang seimbang. Orang Jepang dengan seringnya mengkonsumsi sayuran dan ikan segar memiliki daya tahan hidup yang lebih lama daripada masyarakat negara luar.


Give and Take

Filosofi kedermawanan tampaknya ditanamkan bangsa Jepang dalam tiap generasi. Jika orang Eropa dan Amerika dalam mengambil keuntungan atau melakukan proses negosiasi berfilosofi take and give, maka orang Jepang akan membalikan gaya kedermawanannya dengan give and take. Strategi give and take (memberi dan menerima) ternyata cukup ampuh untuk meraih hati kawan, lawan, atau pun saingan. Sikap give dilakukan terlebih dahulu sebelum take.

Perusaan Jepang akan memberi sesuatu yang terbaik terlebih dahulu kepada karyawannya untuk mendapatkan atau memperoleh kemudian yang terbaik pula dari karyawannya, seperti skill dan dedikasi. Kenyamanan dalam bekerja, penghargaan terhadap prestasi karyawan, semuanya akan diutamakan untuk memperoleh loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Filosofi ini mungkin sama dengan bagaimana cara mengambil hati orang lain agar kita dapat diakui.

Telah banyak produk Jepang yang berhasil di pasaran dengan cara ini. Produk Jepang selalu mengutamakan bagaimana memberi kualitas terbaik terlebih dahulu kepada konsumen sebelum mendapatkan atau menarik keuntungan dari konsumen. Demikian juga dengan cara Jepang merebut hati negara lain melalui perkembangan perusahaannya. Jepang ‘memberi’ perusahaan-perusahaan kepada negara-negara Asia dengan alasan membuka lapangan pekerjaan, atau menambah devisa negara, berupa perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) ataupun bentuk-bentuk lainnya, sehingga negara-negara tersebut merasa mendapat keuntungan pula, yang kemudian sebagai rasa terimakasih, maka Jepang pun diperbolehkan untuk terus mengembangkan berbagai produknya di Asia bahkan di dunia. Bangsa Jepang sadar, dengan negaranya yang kecil, tidak memiliki tempat yang cukup luas untuk mengembangkan perusahaannya di dalam negeri, maka mau tidak mau invasi wilayah ekonomi harus dilakukan ke negara lain, dengan cara yang saling menguntungkan tentunya.


Individualisme yang khas

Setiap orang adalah bagian dari komunitas sosial yang satu sama lain saling bersinggungan, secara emosional saling memiliki keterikatan baik langsung maupun tidak langsung. Konsep individu yang dimaknai sebagai sesuatu yang berdiri sendiri terpisah dari yang lainnya akan sangat menentukan karakteristik, sikap dan tindakannya.

Sifat individualis orang Jepang sangat berbeda dengan bangsa Eropa, Amerika, atau bahkan orang Indonesia. Individualis bagi orang Indonesia berarti bersifat ‘keakuan’ sedangkan Individualis bagi orang Jepang mengacu pada perasaan kelompok atau kolektif yang berarti ‘kekitaan’. Jika orang Amerika mengatakan ‘I’, maka orang Jepang mengatakan nuansa yang merujuk pada kata ‘we’ atau tidak diungkapkan sama sekali. Seandainya filsuf Descartes orang Jepang, maka tentu pemikiran “I think, therefore I am” (Aku berpikir karena itu Aku ada) akan menjadi “We think, therefore We are”. Oleh sebab itu dalam kalimat-kalimat percakapan orang Jepang jarang sekali menyertakan subjek pronomina dalam kalimat, hal ini mencerminkan bahwa sikap egosentris tidak ditujukan kepada subjek itu sendiri, melainkan ungkapan perasaan bersama secara kolektif. Orang Jepang akan merasa sungkan untuk mengatakan ‘watashi’, atau saat berbicara kepada mitra wicara dengan mengatakan ‘anata’ kecuali dalam kasus tertentu.

Kita mengatakan,

Saya pikir Anda belum mengerti dengan maksud saya”

Dalam bahasa Inggris,

I think, you don’t know what I mean”

Maka orang Jepang hanya akan mengatakan,

“Watashi no ito ga wakaranai to omoimasu”

Watashi no ito (maksud saya)

Wakaranai (tidak mengerti)

Omoimasu (pikir)

Kita bisa lihat dalam contoh sederhana ini, orang yang wakaranai adalah ‘anata’ (kamu) yang tidak disebutkan dalam kalimat, dan subjek ‘watashi’ (saya) yang merujuk kepada kata omoimasu pun tidak disebutkan. Mestinya jika penerjemahan kalimat itu seperti pada bahasa Indonesia atau bahasa Inggris maka akan menjadi,

“(Watashi wa) (anata wa) watashi no ito ga wakaranai to omoimasu”,

Namun kalimat seperti ini malah tidak alamiah dalam bahasa Jepang. Cara pengungkapan seperti ini muncul karena adanya perasaan bahwa secara pribadi ia tidak mau atau sungkan untuk terkesan menonjolkan diri, namun demikian bukan berarti ia merendahkan dirinya sendiri. Bentuk ambiguitas seperti ini mencerminkan bahwa orang Jepang tidak ingin secara langsung bersinggungan perasaan dengan perasaan mitra wicaranya meskipun ada pertentangan dengan dirinya.

Bagi orang Indonesia, individual berarti bukan grup, sehingga hal ini bisa membedakan presepsi pribadi seseorang tentang apa itu persamaan, kebebasan, privasi, dan sebagainya.

Contoh lain,

Orang Jepang mengatakan,

Ai shiteru’

‘I love you’

‘Aku cinta kamu’

Kata ‘ai shiteru’ itu sendiri artinya ‘mencintai’, tapi mengapa dalam konteks di atas kata ‘watashi’ (saya) dan ‘anata’ (kamu) tidak disertakan, seperti halnya dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang menyertakan ‘I, you, saya, dan kamu’. Karakteristik orang Jepang dengan perasaan bahwa tidak mementingkan eksistensi melainkan mengedepankan esensi, nuansa makna kalimat bahwa ‘siapa dan kepada siapa’ yang sudah sama-sama difahami oleh baik pewicara maupun mitra wicara tidak lagi harus selalu disebutkan. Hal ini pun adalah ciri tidak egosentris yang mengemuka dalam setiap tuturan bahasa Jepang.

Ditinjau dari sudut kebahasaan, nuansa makna ‘sikap mengaburkan rasa individualistis’ dalam bahasa Jepang sangat menonjol bila dibandingkan dengan bahasa Inggris. Bahasa Inggris begitu cepat diserap sebagai bahasa Internasional, karena sifatnya universal tidak bertendensi pada perasaan tertentu. Seorang Jepang mengatakan, “Saya merasa bahwa saya seorang yang individualis bila bicara dalam bahasa Inggris”, alasannya karena katanya, setiap ia berujar dalam bahasa Inggris maka saat itu pula ia harus mengucapkan kata “I” dalam setiap kalimatnya, sesuatu yang bukan kebiasaan bagi masyarakat Jepang. Ia menambahkan, “Bahasa Inggris itu sempurna bagi seorang pengacara, tapi tidak cukup bisa untuk menggambarkan perasaan orang Jepang, tapi saya suka satu sisi, saat dengan bahasa Inggris kita mampu mengatakan kata ‘ya’ dan ‘tidak’, tapi dalam bahasa Jepang tidak demikian”.


Individualisme bukanlah keegoan

Para karyawan Jepang dikontrak sebagai suatu grup atau kelas misalnya dalam waktu setahun. Meskipun berbeda dalam setiap aktivitasnya, mereka selalu bekerja sebagai kelompok. Kemampuan untuk selalu bekerjasama akan menjadi tolak ukur penilaian sebuah perusahaan terhadap tiap individu. Kesendirian dalam bekerja pada seorang karyawan bukan berarti individualisme yang dimunculkan, melainkan sikap tanggungjawab personal atas tugas yang diembannya. Rupanya sedikit bicara banyak bekerja selalu tertanam di hati para karyawan perusahan Jepang.

Dalam perusahaan-perusahaan Jepang, kekuasaan dan tanggung jawab tidak dibebankan hanya kepada satu orang saja melainkan kebersamaan kelompok. Semakin besar sebuah perusahaan maka semakin banyak pula yang ikut bertanggung jawab. Apabila suatu kegagalan dalam perusahaan terjadi maka kesalahan tidak akan ditimpakan kepada satu orang, melainkan sudah menjadi risiko kelompok atau risiko perusahaan sebagai kesatuan unit kelompok.

Kerjasama penguasa dan pengusaha

Sebelum Jepang masuk pada jaman reformasi (jaman Meiji tahun 1868), yaitu hampir selama 250 tahun dikuasai oleh sistem feodalisme yang terpusat pada golongan militer atau yang dikenal sebagai shogun. Sistem pemerintahan dijalankan dengan kekuatan terpusat pada seorang Jendral Seiitai shogun. Pertumbuhan ekonomi lebih dipersiapkan pada pembuatan persenjataan militer untuk pertahanan negara dan invasi ke negara luar. Pada masa ini juga diberlakukan strategi isolasi negara atau dikenal sebagai politik shakoku (negara tertutup). kecuali Korea, Cina, Belada, dan Portugis, itu pun hanya sebatas kerjasama budaya dan perdagangan. Dengan politik ini menjadikan bangsa Jepang kurang mengenal bangsa-bangsa luar.

Tahun 1868 adalah era baru bagi terbukanya sistem pemerintahan Jepang yang mengantarkan bangsanya ke arah reformasi politik, sosial dan budaya. Dalam bidang ekonomi, tercatat beberapa kebijakan telah dikeluarkan di antaranya;

  • Sistem moneter terpusat pada Bank Jepang sebagai bank nasional.

  • Sistem fiskal berdasarkan pajak tanah.

  • Dilakukannya perluasan infrastruktur seperti jalan, jalur perkretaapian,dan perkapalan.

  • Dibentuknya penggunaan saham bersama sebagai bentuk badan hukum.

  • Pemerintah menjalankan berbagai pabrik.

  • Membangun sistem telegrap dan perposan ke seluruh negara.

  • Impor mesin-mesin industri dan tenaga ahli.

  • Pengiriman pemuda ke luar negeri untuk dijadikan sebagai ekonom handal.

Dalam era Perang Dunia I, kekuatan Jepang baik bidang kemiliteran maupun perekonomian semakin menguat, ditandai dengan kemenangan perang atas Cina (1894-1895) dan kemenangan atas Rusia (1904-1905).

Keberhasilan perkembangan ekonomi ini tidak terlepas dari peran serta para pengusaha Jepang untuk terus mengkampanyekan kelayakan produk Jepang di dunia internasional. Bahkan ekspor kapas pada tahun 1919-an menjadi primadona untuk devisa negara. Pada tahun 1930 terjadi krisis ekonomi besar-besaran di seluruh dunia, hal ini pun membawa pengaruh besar bagi perekonomian Jepang. Ekspor menjadi terhambat, dan pada akhirnya Jepang kembali memfungsikan kekuatan sektor pertanian dalam negeri. Namun demikian pada akhir tahun 1930, Jepang mulai bangkit dengan menciptakan industri berat hingga akhirnya tumbuh berkembang pada pertengahan tahun 1931.

Peningkatan industri berat memicu terjadinya persaingan para pengusaha dalam negeri, pada saat itu dikenal sebagai pengusaha zaibatsu, yaitu golongan pengusaha partikelir yang dikuasai oleh keluarga tertentu. Golongan zaibatsu yang paling berpengaruh pada saat itu antara lain keluarga Mitsui dan keluarga Mitsubishi. Meski demikian, peran serta pengusaha-pengusaha ini sangat besar bagi pemulihan perekonomian Jepang pada saat itu, apalagi pada awal Perang Dunia II, Para zaibatsu ini menjadi tulang punggung negara bagi terciptanya sarana dan persenjataan perang. Bahkan sewaktu perang Pasifik tahun 1941 terjadi semua sektor ekonomi dipusatkan bagi bantuan persenjataan perang.

Sejarah mencatat revolusi industri yang terjadi di Jepang sangat drastis dan begitu radikal. Revolusi industri sebenarnya telah dilakukan oleh negara-negara maju seperti Inggris (1066), Amerika (1776) dan Perancis (1989), namun Jepang adalah negara yang tercepat dalam melakukan revolusinya. Faktor yang menyebabkan Jepang begitu radikal dalam mengubah perekonomiannya salah satunya adalah selain komitmen pemerintah yang ingin mengubah sistem kepemimpinan negara juga karena Jepang memiliki para zaibatsu handal yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain.


Invasi ekonomi

Jepang kini berbeda daripada masa sebelum Perang Dunia II. Mereka datang ke negara-negara Asia lainnya tanpa membawa senjata atau seragam militer, namun kini datang dengan pakaian rapih berdasi, mereka selalu mengakui bahwa masa lalu adalah sesuatu yang harus dilupakan dan bangsa Jepang sendiri telah mengakui kekeliruan itu. Mereka datang sebagai pelaku bisnis yang berhasil, datang sebagai investor, pembangunan sarana transportasi, pabrik garmen, perakitan mobil dan komputer, maka tak heran kalau produk-produk Jepang membanjiri wilayah Asia juga dunia. Produk-produk seperti mobil dan elektronik membanjiri dunia, sehingga secara tidak langsung memaksa Amerika dan Inggris untuk lebih bersaing. Jepang memang gagal dalam Perang Dunia II, tapi dengan usaha dan kerjasama yang kuat berhasil membuat negara-negara adikuasa itu menjadi segan. Mereka kini menang dalam bidang perdagangan dan ekoomi.

Pengambilan keputusan

Dalam beberapa kasus, orang Jepang dalam mengambil keputusan umumnya berdasarkan sistem konsensus bukan dengan sistem voting. Sistem konsensus ini bisa berdasarkan keputusan yang diambil atas permufakatan, keputusan karena kekuasaan, atau pun karena senioritas. Keputusan yang diambil karena kekuasaan dan senioritas sudah menjadi suatu konsensus (permufakatan) dalam sebuah perusahaan. Berbeda dengan di Amerika, keputusan yang diambil karena kekuasaan dianggap sebagai keputusan voting, artinya keputusan yang ditentukan oleh satu orang atau beberapa orang karena perbedaan jumlah suara meskipun yang lain tidak setuju atau karena tidak tercapai mufakat. Pendelegasian keputusan tidak serta merta dapat diputuskan begitu saja, seorang bawahan yang sudah didelegasikan oleh atasannya akan meminta konfirmasi ulang pada saat keputusan itu akan diambil.


Makian adalah nasihat

Sikap disiplin lahir dari sebuah komitmen yang kuat pribadi orang Jepang. Kepribadian yang pendiam dalam konteks bermasyarakat berbeda dalam etos kerja orang Jepang. Seorang anak buah yang melakukan kesalahan akan dimaki habis-habisan dengan kata-kata yang sangat kasar, kata-kata seperti “Bakayaro!” (baca: Goblog!) dalam ucapan seorang atasan dianggap sebagai nasihat yang biasa didengar oleh seorang bawahan, dan anehnya bawahan akan diam patuh dan menerima umpatan tersebut sebagai suatu hal yang harus diperbaiki dengan tindakan bila ia memang malakukan kesalahan. Bagi orang Jepang, bekerja adalah komitmen dan loyalitas kepada perusahaan, apapun yang terjadi dianggap sebagai pembelajaran yang harus diambil. Umpatan seolah-olah bukanlah suatu yang melanggar etika tapi itu adalah pelajaran lisan bagi seorang bawahan, meskipun berwujud ekspresi kemarahan atasan. Umpatan hanya sebatas dalam lingkup kerja, seorang bos tidak akan membawa amarah itu di luar lingkungan kerja sehingga sikap itu tidak akan melahirkan sikap subjektif seorang atasan terhadap bawahannya.

Seorang Perdana Menteri Jepang, Shigeharu Yoshida pernah mengumpat “Bakayaro!” di depan sidang parlemen sebagai rasa kesal kepada kabinetnya yang tidak mampu bekerja sesuai keinginan programnya. Meski begitu ia tetap bertahan menjadi orang nomor satu di Jepang sejak Oktober 1948 sampai Desember 1953.


Kesabaran dari seorang pe-sumo

Sumo merupakan olah raga sakral di Jepang. Pada mulanya sumo diselenggarakan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat petani kepada para Dewa kerena keberhasilan penen. Pada perkembangan berikutnya, yaitu semasa jaman feodal, olah raga sumo menjadi olah raga brutal yang tanpa memiliki aturan permainan seperti tinju bebas, tapi kemudian pada jaman Nara, sumo menjadi olah raga yang digemari kalangan istana, maka sejak itu diterapkan pula aturan yang sangat ketat dan lebih halus, seperti aturan bahwa pemain yang kalah adalah orang yang berhasil di dorong ke luar arena atau yang menyentuh tanah lebih dulu.

Bagi beberapa orang asing menonton pertandingan sumo mungkin suatu hiburan yang menjemukan. Betapa tidak, dalam pertandingan sumo, ketika pemain sudah naik arena, lalu melakukan berbagai seremoni menabur garam, melakukan gerakan pasang kuda-kuda, paling tidak lima sampai dua puluh menit lamanya menunggu persiapan, kemudian begitu di mulai hanya sedetik berakhir, pertandingan ini terus menerus begitu sampai beberapa pertandingan. Pertandingan biasanya antara wilayah barat dan wilayah timur.

Banyak perusahaan Jepang menggunakan filosofi pertandingan sumo. Suatu analisis pasar yang dilakukan secara intensif dan penuh kesabaran namun menghasilkan tingkat akurasi yang tinggi. Kekokohan ukuran badan menjadi pelajaran bagi perusahaan sebagai lambang kekuatan dan ketahanan yang harus dimiliki perusahaan agar mampu menahan segala krisis dan persaingan.


Kepercayaan adalah penghargaan

Pemberian kepercayaan dan penyerahan tugas yang proporsional terhadap seseorang membuat orang tersebut akan selalu merasa dihargai atas jerih payahnya, bagi orang Jepang kepercayaan adalah sesuatu yang harus dibalas dengan kerja keras dan loyalitas yang tinggi sebagaimana jiwa ini yang selalu dimiliki oleh seorang samurai yang mengabdi kepada majikannya hingga titik darah penghabisan. Seorang warga Jepang akan percaya terhadap produk buatan para ahlinya dibanding buatan orang lain, meskipun ahlinya yang dipercaya itu tidak lebih baik dari orang lain. Namun efek yang ditimbulkannya adalah justru dengan adanya kepercayaan, para ahli itu malah semakin ahli. Orang Jepang percaya akan kehandalan para insinyurnya, ketika berada dalam gedung lantai lima puluh, tiba-tiba gedung itu diguncangkan gempa dengan kekuatan 6 scala righter, ia merasa tenang-tenang saja, karena gedung itu hanya berayun-ayun, orang Jepang merasa aman ketika sedang berada di bawah tanah, gempa terjadi dan memang tidak apa-apa, karena para insinyurnya telah merangkai terowongan atau koridor bawah tanah itu dengan konstruksi yang canggih, mereka percaya akan kehandalan para insinyurnya.


“Para insinyur kami adalah orang-orang yang dapat duduk makan tanpa pernah mencuci tangan terlebih dahulu”


Ucapan ini dikemukakan oleh Kiichiro Toyoda, anak dari Sakichi Toyoda pendiri Toyota Corporation. Maksud yang ingin disampaikannya adalah bahwa orang Jepang tidak pernah berhenti untuk terus mencari kreativitas demi keterampilan dan keahlian yang dimilikinya.


Langkah total

Setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II, kebanyakan dari fasilitas industrinya hancur tak tersisa, namun orang Jepang justru membalikkan keadaan dan berpikir positif bahwa fasilitas-fasilitas yang sudah tua biarlah hancur, itu berarti harus membuat fasilitas yang lebih baru dan besar, maka sejalan dengan aktivitas para serikat kerja, pemerintah mulai mengembangkan industri mesin-mesin berat bersamaan dengan mesin-mesin otomatisasi serta perbaikan dalam bidang tekhnik manajemen, pola pikir dan langkah ini dianggap sangat cerdik karena industri berat seperti baja, mesin-mesin pabrik, pembuatan kapal telah menjadi industri utama bagi perkembangan industri Jepang.


Pengembangan kreativitas

Meskipun sebagai negara yang sudah mapan dalam bidang ekonominya, Jepang senantiasa berpikir untuk terus berusaha mempertahankan atau bahkan meningkatkan kemajuannya itu. Strategi yang diambil adalah bagaimana menciptakan produk-produk yang lebih modern dan lebih kreatif.

Pada jaman perang, Sakichi Toyoda seorang pendiri Toyota Corporation berpikir untuk menciptakan alat penenun, karena pada saat itu Jepang sebagai negara penghasil kapas terbaik di dunia. Dengan kreativitasnya, alat tenun itu ia ubah menjadi mesin otomatis yang digerakkan dengan menggunakan daya gerak uap. Namun sayang perekonomian masa perang menjadikan Jepang terus terpuruk dalam krisis, hingga hal ini pun berpengaruh terhadap produktivitas pertanian kapas, dan keadaan ini memaksa Jepang untuk beralih dari sektor pertanian ke sektor industri, jerih payah Sakichi Toyoda pun sia-sia, ia bangkrut karena mesin tidak bisa beroperasi. Dalam pada itu ia berusaha berpikir ulang bagaimana mesin itu agar bisa beroperasi, maka dengan kreativitasnya pula ia tempatkan mesin tersebut di atas dua balok yang diberi roda, kemudian dengan sedikit menyulapnya ia buat konektor antara mesin dengan as roda, dan jadilah gerobak yang bisa berjalan. Dari waktu ke waktu, gerobak jalan itu terus mengalami perbaikan hingga suatu ketika pemerintah memesan beberapa gerobak untuk mengangkut perlengkapan perang. Permintaan semakin meningkat hingga Toyoda pun berpikir lagi supaya gerobak itu dapat berfungsi lagi lebih efektif dan efisien, dan akhirnya pada tahun-tahun berikutnya terciptalah truk pengangkut berukuran besar yang pada saat itu digunakan militer untuk berperang.

Selama beberapa dasawarsa, Toyota adalah produsen mobil nomor satu di Jepang dan berada pada posisi nomor empat di belakang perusahaan pembuat mobil Tiga Besar di Amerika, yaitu Ford, General Motors dan Chrysler. Namun pada tahun 2002 mengangkat citra Toyota ke level nomor satu dunia, dengan diluncurkannya mobil Toyota Lexus yang mengalahkan penjualan mobil mewah BMW, Cadillac, dan Mercedes-Benz di Amerika selama tiga tahun berturut-turut.

Bagaimana pun kisah ini adalah salah satu bukti kreativitas yang dimiliki bangsa Jepang untuk terus berinovasi tanpa henti.

1 komentar: